Relasi Gender antara Pedagang dan Pembeli di Pasar Bulu Sukoharjo (ANTROPOLOGI GENDER)

Relasi Gender antara Pedagang dan Pembeli di Pasar Bulu Pendahuluan Bahasan mengenai gender menjadi agenda penting dari semua pihak, karena realitas perbedaan gender yang berimplikasi pada perbedaan status, peran dan tanggung-jawab antara manusia laki-laki dan perempuan seringkali menimbulkan apa yang disebut dengan ketidakadilan gender yang berujung pada penindasan. Masalah ini merupakan masalah yang selalu terjadi di negara-negara yang masih memegang teguh struktur sosial patriarkis. Patriarki itu sendiri menurut Ritzer dan Goodman (2013: 506) tidak hanya secara historis menjadi struktur dominasi dan ketundukan, namun ia pun terus menjadi sistem ketimpangan yang paling kuat dan tahan lama, yang menjadi model dasar dominasi di tengah-tengah masyarakat. Berbicara mengenai gender tentunya pembahasan ini kurang lebih membicarakan tentang perempuan, yang mana sekarang ini, bahasan tersebut banyak mengisi wacana di tengah-tengah masyarakat kita. Masyarakat perempuan yang sekarang ini jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan laki-laki ternyata belum banyak mengisi dan menempati sektor-sektor publik yang ikut berpengaruh di dalam menentukan keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan penting. Menanggapi hal tersebut, berbagai upaya telah banyak ditempuh untuk mengangkat derajat dan posisi perempuan agar setara dengan laki-laki. Kaum perempuan mencoba peruntungannya melalui berbagai aspek kehidupan baik yang formal maupun yang nonformal, salah satunya yang paling populer yaitu melalui kegiatan ekonomi. Relasi peran gender dalam kegiatan ekonomi sangat menarik untuk dikaji. Pasar tradisional yang merupakan pertemuan antara pedagang dan pembeli baik itu laki-laki atau perempuan adalah pusat kegiatan ekonomi masyarakat di desa. Berdasakan masalah tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti relasi peran gender masyarakat di Pasar Bulu, Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo. Pembahasan Selama ini banyak persepsi masyarakat yang salah terhadap gender. Gender itu ya jenis kelamin, dan jenis kelamin itu ya gender, begitulah kira-kira masyarakat dalam mendefinisikan gender. Padahal di Indonesia menurut Astuti (2011:2), hampir semua uraian tentang program pembangunan masyarakat maupun pembangunan di kalangan organisasi non-pemerintah selalu diperbincangkan masalah gender. Tentunya kesalahpahaman pengertian gender tersebut perlu diluruskan untuk menghindari adanya salah komunikasi. Untuk memahami konsep gender harus dibedakan dengan konsep jenis kelamin. Pembagian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu (Fakih. 1996). Misalnya manusia jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis dan jakun, sedangkan manusia jenis kelamin perempuan adalah manusia yang memiliki payudara dan rahim. Sementara itu yang dimaksud gender (Astuti: 2011:3) yaitu suatu sifat yang melakt pada laki-laki dan perempuan karena dikonstruksikan secara sosial dan kultural. Jadi jelas bahwa gender dan jenis kelamin berbeda. Gender lebih pada peran yang diperoleh dari konstruksi budaya masyarakat sedangkan jenis kelamin lebih pada keadaan biologis manusia. Di Pasar Bulu yang merupakan pasar tradisonal di salah satu wilayah Kabupaten Sukoharjo ada relasi gender yang menarik untuk dikaji. Di pasar Bulu sebagian besar para pedagang, sekitar 80% adalah pedagang dengan jenis kelamin perempuan. Perempuan mendominasi pada pedagang sayuran, pedagang jamu (siap minum), pedagang pecel, pedagang bubur, dan jajanan pasar jenis lainnya. Berbeda dengan pedagang laki-laki yang mendominasi kios plastik, gilingan bakso dan kelapa. Untuk pedagang sembako, pedagang ayam potong dan pedagang jamu (mentah/kemasan) persentase laki-laki dan perempuan kurang lebih sama. Wanita dikonstruksikan masyarakat untuk mengurus rumah tangga dan berada di dapur, kasur, dan sumur sekarang ini mencoba keluar dari zonanya untuk bersaing dengan laki-laki di bidang ekonomi. Para pedagang wanita di pasar Bulu tersebut sebagian besar bekerja untuk membantu ekonomi keluarga, sedangkan sisanya merupakan tulang punggung keluarga. Hal ini dibuktikan dengan wawancara saya dengan Lek Surani dan Pakdhe Yanto. Lek Surani dlaam memenuhi kehidupannya saat ini dibantu oleh kedua anaknya, sedangkan Pakdhe Yanto adalah sumber pendapatan utama keluarga. Para pedagang di pasar Bulu mau tidak mau harus bergaul dengan pedagang lainnya karena mereka sadar, mereka tidak bisa hidup tanpa orang lain terlebih lagi di lingkungan pasar. Setiap hari para pedagang terlibat interaksi dan tolong-menolong. Misalnya ketika Mbak Marni (pedagang nasi kuning) yang tidak memiliki kembalian ketika ada orang membeli dagangannya, maka Mbak Marni secepatnya menukarkan uang tersebut kepada pedagang lainnya. Solidaritas yang terjadi di kalangan masyarakat pasar Bulu merupakan solidaritas mekanik. Lawang (dalam Soedjati. 1992:11) mengungkapkan tentang solidaritas “Dasar pengertian solidaritas tetap kita pegang yakni kesatuan, persahabatan, saling percaya yang muncul akibat tanggung jawab bersama dan kepentingan bersama diantara para anggotanya”. Lebih jelasnya Durkheim menjelaskan dua tipe solidaritas yaitu solidaritas organic dan mekanik. Suatu masyarakat yang dicirikan oleh solidaritas mekanik bersatu karena semua orang adalah generalis. Ikatan diantara orang-orang itu adalah karena semua terlibat dalam kegiatan-kegitan yang mirip dan mempunyai tanggung jawab yang mirip (Ritzer. 2012: 145). Selain para pedagang yang terlibat interaksi dan tolong menolong yang telah dijelaskan sebelumnya, pedagang di pasar juga mengadakan arisan yang dilaksanakan setiap harinya. Lek Surani (pedagang sayur) merupakan coordinator dari arisan tersebut. Namun arisan ini tidak hanya dikhususkan bagi pedagang di pasar saja, melainkan para pedagang keliling, pedagang tempat makan, dan pedagang lainnya yang kulakan di pasar boleh mengikuti arisan ini. Selain itu, pedagang di pasar juga memiliki dana kas yang bisa digunakan untuk tilikan apabila ada salah satu pedagang yang sakit atau tertimpa musibah. Namun tak menutup kemungkinan dana tersebut juga digunakan untuk membantu salah satu pedagang yang memiliki hajatan, namun hal ini jarang dilakukan karena biasanya untuk nyumbang para pedagang melakukannya secara individu. Hal menarik ketika di pagi buta sekitar pukul 04.30 pedagang sayuran sudah lebih dulu memulai kesibukan. Sang ibu bersiap untuk melayani para pembeli. Ia dibantu oleh sang anak yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Sang anak bertugas untuk menyiapkan sayuran sesuai kebutuhan pembeli. Sedangkan sang ayah dengan mobil pick up-nya mengangkut segala macam sayuran yang diambilnya dari Tawang Mangu (Karanganyar). Dari fenomena tersebut membuktikan adanya pembagian peran gender yang sangat kentara. Menarik membahas peran gender di kalangan pedagang di pasar Bulu, namun ada hal menarik lainnya di pasar tersebut bahwa tidak hanya ibu-ibu atau perempuan saja yang ke pasar seperti konstruksi yang selalu kita pahami lewat buku pelajaran di sekolah dasar bahwa biasanya ibu pergi ke pasar. Disini, laki-laki juga banyak yang pergi ke pasar untuk sekedar membeli beberapa barang yang dibutuhkan ataupun untuk belanja dalam jumlah besar. Beberapa laki-laki yang masuk ke pasar merasa canggung dan tidak selektif dalam membeli barang. Mereka terlihat sering bertanya kepada warga lainnya “Dimana tempat membeli ayam? Dimana tempat membeli bubur?” dan seterusnya. Sedangkan sebagian lagi laki-laki merasa enjoy dan pede pergi ke pasar, mereka bahkan tau dimana tempat yang menjua kebutuhan denga harga yang paling miring. Penutup Pasar tradisional merupakan pusat kegiatan ekonomi di kalangan masyarakat desa. Sebagai pusat kegiatan ekonomi, terjadilah pertemuan antara para pedagang dan para pembeli baik itu perempuan maupun laki-laki. Pasar merupakan salah satu tempat bagi perempuan untuk turun ke sector public, karena memang di pasar kita lebih banyak menemukan perempuan dari pada laki-laki baik itu pedagang maupun pembelinya. Namun tetap saja di pasar ada pembagian peran berdasarkan jenis kelamin yang berbeda. Laki-laki banyak bekerja dengan tenaga yang lebih ekstra, sedangkan yang menonjol dari perempuan adalah interaksinya dengan pedagang lain maupun dengan pelanggan. Perempuan lebih banyak menawarkan barang dagangannya dari pada laki-laki. Sumber Astuti, Tri Marhaeni Pudji. 2011. Konstruksi Gender dalam Realitas Sosial. Semarang: Unnes Press. Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ritzer dan Goodman . 2013. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Soedjati. 1995. Solidaritas dan Masalah Sosial Kelompok Waria. Bandung: UPPm STIE Catatan Lapangan Hampir setiap hari ketika saya berada di rumah orangtua saya yang beralamat Dukuh Tapang RT 03/RW 03 Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo, saya selalu diutus ibu untuk pergi ke pasar Bulu yang letaknya kurang dari 1 kilometer dari rumah. Saya biasanya pergi ke pasar pada pagi atau siang hari. Karena ibu saya memiliki warung makan, jadi kebutuhan yang harus dibeli cukup banyak dan beragam seperti ayam, sayur-sayuran, sembako, dan bumbu-bumbu lainnya. Pasar Bulu tidak sebesar pasar-pasar yang ada di Kecamatan lainnya di Kabupaten Sukoharjo, dibandingkan dengan Kecamatan Tawangsari dan Kecamatan Nguter yang letaknya tidak jauh dari wilayah Kecamatan Bulu, Pasar Bulu masih jauh jika dikatakan ramai dan besar. Namun pasar-pasar di Kabupaten Sukoharjo memiliki persamaan yaitu sama-sama ramai pada hari pasaran Legi, termasuk bagi Pasar Bulu itu sendiri yang pada hari Legi berbeda dari biasanya. Pedagang dan pembeli meningkat, beberapa pedagang bahkan sampai menjajakan barang dagangannya di pinggir jalan raya. Pasar Bulu letaknya bersebelahan dengan kantor kecamatan, puskesmas, dan kantor kelurahan. Masyarakat yang terlibat dalam aktivitas jual-beli di Pasar Bulu ini rata-rata sudah saling mengenal antara satu dengan yang lainnya. Sayapun sudah kenal sebagian orang yang berjualan di pasar tersebut baik yang ada di dalam pasar maupun yang berada di ruko-ruko bagian luar pasar karena kakak kandung saya pernah memiliki ruko yang menjual kaca mata di bagian luar pasar. Sepulang sekolah saya membantu menjaga toko, jadi saya banyak menghabiskan waktu di pasar dan berinteraksi dengan tetangga sekitar. Bahkan (dulu, sewaktu saya masih SMA) gosip terhangat yang terjadi di lingkungan pasar pun sampai ke kelinga saya. Namun saat ini semenjak kakak saya pindah, dan saya banyak menghabiskan waktu di Semarang maka hubungan saya dengan warga di Pasar tidak seintens dulu. Saat ini, saya berinteraksi dengan warga pasar hanya terbatas ketika saya berada di rumah dan ibu mengutus saya untuk berbelanja ke pasar. Kendati demikian, Minggu 28 Mei 2017 lalu saya menyempatkan waktu untuk berkunjung ke pasar untuk melihat relasi gender yang ada disana. Saya juga mewawancarai Lek Surani dan Pakdhe Yanto selaku pedagang disana. Saat itu saya juga ingin mewawancarai para pembeli, namun saat itu keadaan tidak memungkinkan dikarenakan hari puasa yang panas, ramai dan berdesakan sehingga para pembeli enggan diminta sedikit waktunya. Oleh karena itu ketika saya sudah berada di Semarang, saya berinisiatif menelepon Mbak Nur dan Om Eko. Mbak Nur merupakan asisten rumah tangga di Kecamatan, sedangkan Om Eko adalah pegawai kecamatan. Mereka cocok menjadi narasumber saya karena hampir setiap hari mereka keluar-masuk pasar untuk membeli sesuatu. Karena letak kantor kecamatan yang bersebelahan, mereka juga akrab dengan masyarakat pasar. Daftar Pertanyaan dan Hasil Informasi Pertanyaan Lek Surani, Perempuan (51 th, pedagang sayuran) Pakdhe Yanto, Laki-Laki (49 th, pedagang es dan jus) Siapa saja anggota di keluarga anda yang mencari nafkah? Di anggota keluarga saya yang mencari nafkah yaitu saya dan kedua anak saya (laki-laki semua). Jualan es adalah mata pencaharian utama kami, isteri saya datang untuk membantu berjualan di warung kami (kios pasar luar) untuk membantu karena disamping berjualan es, saya juga nyambi narik ojek. Sudah berapa lama anda berdagang di pasar? Selama kurang lebih 20 tahun Selama sepuluh tahun terakhir Mengapa anda memilih untuk bekerja di Pasar? Karena saya merasa pekerjaan ini cocok untuk saya, saya sudah mengenal orang-orang di pasar. Selain itu saya juga senang berinteraksi dengan banyak orang disini. Karena saya diwarisi oleh orangtua saya kios yang ada di pasar ini. Awalnya saya berdagang matrial, namun karena modal yang kurang, saya banting stir berdagang es, jus, dan rujak. Selama bekerja di pasar anda pasti mengalami suka duka. Bagaimana suka-duka yang anda rasakan? Sukanya ya pas kalo dagangan laris, trus cerita-cerita kejadian yang lagi banyak dibicarakan orang. Gitu kan kalo kumpul-kumpul sama orang kan suasana hatinya bungah, jadi nggak gampang stress. Kalo dukanya pas dagangan sepi, ngga punya uang sedangkan di pasar ada tilikan (menjenguk orang sakit), ada yang punya hajatan. Memang sih, kegiatan gitu sifatnya sukarela tapi ya kalo ndelalah pengeluaran beruntun gitu repot juga uangnya. Sukanya pas kalo dagangan laris, uangnya dapet banyak. Dukanya ya pas hujan, esnya ngga laku sedangkan retribusi tiap hari ditarik i. Walaupun libur seminggu ngga jualan ya retribusinya hutang selama semingu itu. Jadi kalo libur jualan itu rugi, di rumah mikirin tagihan. Bagaimana ciri khas pembeli laki-laki dan perempuan dalam membeli barang dagangan anda? Pembeli laki-laki biasanya tidak banyak nawar, tidak terlalu memilih dagangan tidak seperti wanita yang suka pilih-pilih mana sawi yang paling segar dan tidak banyak lubang ulatnya. Kalo saya kan jualan es di pasar yang beli juga kebanyakan pedagang di pasar yang kebanyakan perempuan. Laki-laki juga banyak yang beli, biasanya mereka males untuk datang, mereka sms minta untuk dibawakan es ke tempatnya berjualan. Perempuan banyak yang minta dibungkus (biar porsinya lebih besar), sedangkan laki-laki mintanya esnya di gelas. Apakah disamping bekerja di pasar anda melakukan pekerjaan rumah? Saya tetap melakukan pekerjaan rumah, namun dibantu oleh suami dan anak-anak saya. Seperti memasak dan mencuci piring tugas suami saya, saya mencuci baju, sedangkan anak-anak saya menyapu rumah dan halaman. Di rumah biasanya yang memasak, mencuci dan bersih-bersih dilakukan oleh isteri saya sebelum membantu berjualan di pasar. Saya harus berangkan ke pasar pada pagi hari, jadi saya hanya membantu sedikit pekerjaan rumah. Misalnya saya sempat mencuci piring, ya saya mencuci piring, kalau tidak ya semuanya dikerjakan isteri saya. Biasanya di rumah tugas utama saya membetulkan genting bocor, memberi makan ternak (ayam dan bebek), membetulkan peralatan yang rusak. Ya tugas yang tidak bisa dikerjakan isteri saya gitu lah. Pertanyaan Mbak Nur (29 th, Asisten Rumah Tangga Kecamatan) Om Eko (36 th, Pegawai Kecamatan) Apakah anda sering berbelanja di pasar? Dalam sehari malah saya bisa bolak balik dua hingga tiga kali. Ya, hampir setiap hari saya ke pasar. Apakah anda lebih suka berbelanja di pasar atau di tempat lain (yang juga menyediakan kebutuhan anda)? Mengapa anda lebih suka di tempat tersebut? Saya lebih suka belanja di pasar, selain tempatnya yang dekat, semua barang tersedia (lengkap), saya juga bisa interaksi dengan tetangga-tetangga yang ada di pasar. Tergantung kebutuhan sih, pas belanjanya banyak ya mending belanja di pasar, soalnya bisa milih beli di pedagang mana yang harganya lebih murah. Kalo pas lagi males, pasarnya rame mending beli di tempat lain. Apakah anda merasa sedikit canggung berbelanja di pasar? Mengapa? Enggak sih, saya juga sudah kenal sama pedagang-pedagangnya jadi ya bisa belanja sambil guyon-guyon. Awalnya saya canggung sih, tapi lama-lama ya biasa aja. Banyak kok laki-laki yang pada belanja di pasar, pedagangnya juga ada yang laki-laki. Jadi saya cuek aja. Jika anda ingin membeli sesuatu misalnya sembako, nah ada pedagang laki-laki dan perempuan yang menjual sembako. Pedagang mana yang akan anda pilih? Biasanya tergantung harganya sih, tapi rata-rata pedagang di pasar harganya sama. Jadi kalo saya milih milih beli di pedagang perempuan soalnya lebih “nggenah” kalo beli di perempuan, misal kalo beli bawang, bawangnya dikasih yang bagus. Kalo menurut saya sama saja sih pedagang laki-laki ataupun perempuan, pertama saya pilih berdasarkan harga apa kalo engga ya kalo pedagangnya cantik kaya kamu ya saya pilih belinya sama yang cantik itu. Hehe Bagaimana menurut anda ciri khas penjual laki-laki dan penjual perempuan? Kalo pedagang perempuan itu lebih cerewet, lebih sering menawarkan dagangannya sedangkan pedagang laki-laki kebanyakan tidak marah kalau dagangannya ditawar murah. Kalo perempuan lebih sering menawarkan barang dagangannya sedangkan pedagang laki-laki lebih pendiam, mereka ramahnya sama pembeli wanita yang cantik.

MENEMUKAN NILAI DAN KEGUNAAN FOLKLOR “SAWERIGADING, DEWI SRI, LARANGAN INCEST DAN KEKUASAAN” STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS MITOS DAN KARYA SASTRA

MENEMUKAN NILAI DAN KEGUNAAN FOLKLOR “SAWERIGADING, DEWI SRI, LARANGAN INCEST DAN KEKUASAAN” STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS MITOS DAN KARYA SASTRA Penulis: Heddy Shri Ahimsa-Putra Umumnya cerita-cerita rakyat yang ada di wilayah nusantara memiliki kesamaan, dimana kesamaan tersebut menurut sudut pandang sejarah adalah hasil dari adanya kontak dengan kebudayaan lain. Dalam bab ke ix ini yang akan dijelaskan Ahimsa-Putra adalah bagaimana menjelaskan kesamaan cerita rakyat tersebut dengan tidak menggunakan cara berfikir sejarah, melainkan menggunakan analisis struktural yang diterapkan pada cerita yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda yaitu suku bangsa Bugis dan suku bangsa Jawa. Alasan Ahimsa-Putra memilih mitos Sawerigading dan Dewi Sri adalah suatu kebetulan saja (tidak ada maksud lain) karena kedua mitos ini dinilai sangat populer di kalangan masyarakat. Tujuan dari analisis mitos ini adalah karena kajian yang sudah ada dari kedua mitos ini tidak memiliki kerangka teori yang kuat dan tafsir yang mendalam. Secara eksplisit dijelaskan (dalam Ahimsa-Putra. 2006: 380-381) bahwa analisis struktural Levi-Strauss menjadi senjata utama Ahimsa-Putra untuk membedah isi mitos karena beberapa alasan, diantaranya: (1) paradigma struktural membantu memahami mitos dalam konteks budaya yang lebih luas, (2) mengungkapkan relasi-relasi penting antar tokoh, (3) memperhatikan fenomena pernikahan antar kelompok, pertukaran sosial, relasi-relasi kekerabatan dan sosial. Mitos Sawerigading dan Dewi Sri bergenre romantis, dimana tokoh-tokoh yang terlibat didalamnya ingin melakukan perkawinan sedarah (saudara kandung). Suku bangsa Bugis dan suku bangsa Jawa terwakili oleh mitos tersebut dalam mengungkapkan budayanya dalam menanggapi perkawinan tersebut seperti yang dijelaskan Ahimsa-Putra (2006: 386) bahwa mitos dipandang sebagai sebagai model untuk menafsirkan berbagai peristiwa dalam kehidupan sehari-hari sehingga peristiwa-peristiwa tersebut dapat dipahami dalam kerangka berfikir tertentu agar tidak menimbulkan kebingungan. Secara implisit, mitos juga digunakan sebagai alat mengatur kehidupan masyarakat agar sejalan dengan kehidupan masyarakat yang diidam-idamkan. Cukup jelas Ahimsa-Putra berpendapat bahwa mitos Sawerigading maupun mitos Dewi Sri muncul di masyarakat sebagai nilai larangan incest. Ahimsa Putra (2006: 387) “Dalam mitos Sawerigading larangan ini berupa pencegahan pernikahan saudara kembar disitu, yakni Sawerigading dengan adik kembar perempuannya , We Tenriabeng.” Dalam mitos Sawerigading secara tersirat dapat kita ambil nilai pendidikan sosial yaitu mengenai bagaimana seharusnya hidup berhubungan dengan individu lain di kehidupan bermasyarakat dalam hal ini yaitu menjauhi larangan bahwa saudara kandung tidak boleh menikah, untuk itu telah dijelaskan pada halaman 392 bahwa penolakan We Tenriabeng yang berarti pula penolakan terhadap pernikahan antar saudara kandung. Selain itu kita juga dapat melihat nilai memecahkan suatu masalah “Yakni Sawerigading disarankan untuk menikah dengan wanita lain” (2006: 392) dimana wanita tersebut kurang lebih memiliki kesamaan dengan We Tenriabeng. Pencarian cinta Sawerigading untuk mendapatkan wanita yang memiliki kesamaan dengan saudara kembarnya tersebut dapat saya tafsirkan sebagai nilai perjuagan untuk mencari jodoh yang sesuai. Nilai kekerabatan yang berlaku di masyarakat Bugis tercermin dalam mitos Sawerigading. Masih di halaman yang sama (Ahimsa-Putra. 2006: 392) “Bagian ini dapat dikatakan aturan eksogami, karena pernikahan ini terjadi setelah Sawerigading disarankan menikah dengan seseorang puteri yang sama persis dengan dengan We Tanriabeng. Eksogami yang berlaku disini adalah eksogami keluarga batih karena jodoh yang dianjurkan adalalah sepupu sekali.” Nilai kekerabatan diatas di barengi pula dengan nilai hierarki bahwa We Tanriabeng adalah seorang wanita yang menikah dengan laki-laki yang derajatnya lebih tinggi yaitu sepupunya yang berasal dari Langit. Sedangkan Sawerigading menikah dengan sepupu yang sama derajatnya dari Cina. Di dalam mitos kedua yaitu mitos Dewi Sri terdapat perbedaan tafsir Ahimsa dalam analisisnya yaitu mitos Sawerigading merupakan mitos larangan incest namun di dalamnya disertai dengan pengarahan pernikahan yang baik seperti yang di jelaskan diatas sedangkan di dalam mitos Dewi Sri hanya seputar pernikahan yang tidak dikehendaki saja dan tidak menyebutkan secara spesifik syarat-syarat pernikahan. Tidak adanya pilihan jodoh tersebut ditafsirkan bahwa adanya kebebasan dalam memilih jodoh asalkan jodoh tersebut bukanlah saudara kandungnya. Namun kita dapat menihat nilai larangan lainnya bahwa Dewi Sri tidak ingin menikahi raksasa karena ia dianggap tidak pantas untuk dinikahi. Ahimsa (2006: 400) “Raksasa dapat ditafsirkan sebagai kategori sosial bukan Jawa dengan pola-pola perilaku yang dianggap tidak Njawani”. Hal yang tidak dikemukakan Ahimsa bahwa salah satu pelaku dalam mitos Saweriading yang terlibat kisah cinta rumit sadar akan larangan pernikahan. We Tanriabeng tidak menghendaki berhubungan dengan laki-laki yang kedudukannya sama dengannya, ia lebih memilih pria yang derajatnya lebih tinggi. Berbeda dengan mitos Dewi Sri dimana pihak wanita mencintai pihak laki-laki meskipun derajatnya sama dengannya. Apa yang ada di dalam mitos diatas merupakan ciri budaya masyarakat Bugis dan masyarakat Jawa. Dimana masyarakat Bugis mengenal sistem pernikahan ideal yang tercermin di Mitos Sawerigading kemudian diperkuat dengan mitos To-Manurung. Wanita yang menikah dengan laki-laki yang lebih tinggi derajatnya, serta kecenderungan menikah dengan orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Sedangkan pada masyarakat Jawa tidak menghendaki syarat tertentu untuk mencari jodoh, namun hanya larangan-larangan yang harus dihindari. Aturan-aturan dalam pernikahan diatas dapat digunakan sebagai dasar untuk mengetahui hubungan pernikahan dengan kekuasaan. Mitos Sawerigading dikaitkan dengan mitos To-Manurung dimana pernikahan sepupu dimaksudkan untuk menjaga kemurnian darah kelompok sedangkan mitos Dewi sri yang dikaitkan dengan mitos Mitaraga dimana pernikahan yang tidak dengan individu tertentu menguntungkan individu (dapat dilihat dalam tabel: 434). Ahimsa menyimpulkan (2006:435) bahwa: “Mitos Sawerigading pada dasarnya adalah mitos tentang upaya menghindari perkawinan incest tanpa mengorbankan kekuasaan yang berada di lapisan masyarakat tertentu, mitos Sawerigading merupakan mitos tentang upaya pelestarian kemurinian darah, pelestrian kukuasaan, tanpa melanggar larangan incest. Sednagkan mitos Dewi Sri merupakan mitos untuk upaya menghindari perkwinan incest tanpa upaya melestarikan kekuasaan oleh individu tertentu.” Dari kesimpulan tersebut jelas bahwa di dalam masing-masing mitos terkandung nilai harmoni yang bertujuan untuk menjaga dan melestarikan sosial budaya masing-masing masyarakat temasuk di dalamnya unsur kekerabatan, lapisan sosial dan kekuasaan.. SUMBER: Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Levi Strauss, Mitos dan Karya Sastra Bab IX. Yogyakarta: Kepel Press.

Membangun Masyarakat: Implementasi Nilai Folklore yang Terabaikan (Studi Terhadap Mitos Sendang Lele) (TUGAS FOLKLORE)

Membangun Masyarakat: Implementasi Nilai Folklore yang Terabaikan (Studi Terhadap Mitos Sendang Lele) Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang multikultural. Sebagai negara yang multikultural, Indonesia memiliki kekayaan budaya yang berasal dari berbagai daerah. Kebudayaan tidak hanya berwujud kesenian seperti tari-tarian, musik, dan alat-alat tradisional saja seperti yang diketahui sebagian besar masyarakat, namun kebudayaan juga dapat berbentuk folklor. Sebagai warisan budaya, folklor harus kita jaga eksistensinya agar tidak lenyap ditelan oleh globalisasi yang semakin tak terbendung. Folklor memiliki banyak jenis, dimana masing-masing jenis tersebut memiliki nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam pembangunan. Folklor yang paling populer contohnya adalah mitos. Dalam mitos tersebut termuat berbagai nilai-nilai yang ada di dalam suatu daerah untuk membangun masyarakat ke arah yang lebih baik. Folklor Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Endraswara (ed). 2013: 2). Brunvand (dalam Danandjaja, 1986:21), mengungkapkan bahwa folklor dibedakan menjadi tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu : 1. Folklor lisan (verbal folklor), adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti bahasa, pepatah, dan pemeo; (c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (f) nyanyian rakyat 2. Folklor sebagian lisan (partly verbal folklor) adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya, yang oleh orang “modern” seringkali disebut takhayul itu, terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib, seperti tanda salib bagi orang Kristen Katolik yang dianggap dapat melindungi seseorang dari gangguan hantu, atau ditambah dengan benda material yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri atau dapat membawa rejeki,seperti batu-batu permata tertentu. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat, adalah permainan rakyat, teater rakyat, tarian rakyat, adat istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain 3. Folklor bukan lisan (non verbal folklor) adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong yang material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat; pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk yang bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi adat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di Jawa), dan musik rakyat. Cerita yang akan penulis sampaikan merupakan salah satu folklor lisan yang berbentuk mitos di dalam masyarakat di wilayah Jawa. Mitos Sendang Lele Sendang Lele merupakan tempat wisata yang ada di Dukuh Baseng, Desa Gentan, Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo. Sesuai dengan namanya, Sendang Lele adalah suatu sendang atau kolam dengan berukuran 15 m2 yang berisi ikan-ikan lele. Sendang yang hanya berisi sekumpulan ikan lele saja merupakan hal yang biasa, yang berbeda dari tempat wisata sendang lele ini adalah lele yang memiliki ukuran yang tidak biasa. Lele yang dipelihara oleh masyarakat umum ini tumbuh sebesar bayi yang berumur 2 hingga 3 tahun. Sendang Lele dianggap menyimpan hal-hal yang mistis bagi warga yang mengunjunginya. Pengunjung biasanya membeli pakan lele yang dijual di warung-warung dekat sendang tersebut untuk diberikan kepada lele-lele yang berasa di sendang. Sebagian masyarakat yang memberikan makan pada lele hanya sebatas memberikan makan untuk mengundang lele berkumpul saja, namun sebagian lagi pengunjung mengaku memberikan makan sebagai wujud sekedah agar mereka mendapatkan berkah di dalam hidupnya. Kisah di balik Sendang Lele ini menurut Bapak Mulyanto, S.E. (49 tahun) selaku ketua RT 01/RW 04 Desa Gentan, Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo, bahwa pada zaman dahulu kala hiduplah seseorang yang bernama Ki Truno. Konon Ki Truno adalah pria dewasa yang memiliki kesaktian. Ki Truno bersahabat dengan Pangeran Sambernyowo, dimana mereka bersama-sama berperang melawan Londo (Kolonial Belanda). Di kawasan sendang tersebut ada bongkahan batu besar yang digunakan untuk mengawasi pergerakan penjajah yang akan menyerang daerah tersebut. Dan pada suatu ketika Pangeran Sambernyowo melanjutkan peperangan melawan Kolonial Belanda dengan menuju ke daerah lain dengan mengajak sahabatnya, Ki Truno. Namun Ki Truno memilih untuk tinggal di daerah sekitar sendang tersebut dan menolak ajakan Pangeran Sambernyowo untuk berpindah ke daerah lain. Ki Truno mencintai desa tersebut dan ingin menjaga wilayah tersebut hingga akhir hayatnya. Oleh karena itu, lele-lele yang ada di sendang tersebut diyakini oleh masyarakat sekitar merupakan jelmaan dari Ki Truno yang selalu menjaga Desa Gentan. Berdasarkan penuturan warga yang tinggal di Dukuh Baseng, beberapa puluh tahun lalu Lele Ki Truno memiliki warna putih. Namun dalam perkembangannya ada beberapa warga yang tidak menyukai hal-hal mistis yang tersimpan dalam lele tersebut, bahkan ada warga yang menganggapnya sebagai hal yang syirik. Ketidaksukaan mereka tersebut berujung pada pemberian racun pada sendang. Berdasarkan hal tersebut maka Sendang Lele yang dikenal oleh masyarakat saat ini sebetulnya tidak berisi lele-lele yang asli, melainkan berasal dari lele yang di tanam oleh warga. Kendati demikian, kisah Ki Truno sebagai jelmaan lele ini masih tetap diyakini oleh masyarakat sekitar hingga saat ini. Nilai Dalam Mitos “Sendang Lele” Analisis yang digunakan untuk mengungkapkan mitos Sendang Lele ini adalah analisis struktural Levi-Strauss. Ahimsa-Putra (2006: 380-381) mengungkapkan bahwa analisis struktural tepat untuk membedah isi mitos karena beberapa alasan, diantaranya: (1) paradigma struktural membantu memahami mitos dalam konteks budaya yang lebih luas, (2) mengungkapkan relasi-relasi penting antar tokoh, (3) memperhatikan fenomena relasi-relasi kekerabatan dan sosial. Seperti cerita di daerah-daerah lain, Mitos Sendang Lele ini dalam perkembangannya memiliki banyak versi yang berbeda. Namun mitos yang telah diungkapkan Pak Mulyanto tersebut adalah versi cerita yang diketahui oleh sebagian besar masyarakat Desa Gentan. Berdasarkan cerita tersebut, terdapat nilai-nilai yang terkandung didalamnya yaitu: Rawe-rawe rantas malang-malang putung. Secara jelas bahwa pada zaman dahulu kala masyarakat Baseng turut serta berperang melawan penjajahan Belanda. Ki Truno dan Pangeran Sambernyowo diibaratkan sebagai masyarakat yang menolak segala bentuk kolonialisme yang ada di Baseng. Mereka mengidam-idamkan kehidupan bebas dan tenteram, oleh karena itu mereka berjuang untuk mencapai hal tersebut dengan cara berperang melawan penjajah. Nilai yang seperti ini dapat disebut dengan nilai perjuangan. Holopis kuntul baris artinya yaitu gotong-royong. Seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa itu sendiri memiliki budaya gotong royong yang kuat. Dalam peperangan melawan penjajah untuk mencegah agar Dukuh Baseng tidak dikuasai Londo, maka Ki Truno yang diketahui bersahabat dengan Pangeran Sambernyowo saling bahu-membahu untuk menghadapi musuh. Hal ini menggambarkan masyarakat Baseng yang mengutamakan gotong-royong dalam masyarakat untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Gotong-royong atau bekerja sama harus selalu diterapkan di dalam kehidupan agar keinginan bersama yang selama ini diidam-idamkan dapat terpenuhi. hal tersebut menyimpulkan pada zaman dahulu masyarakat memiliki nilai gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat yang tertuang dalam hal berperang memerangi musuh. Luwih becik urip ning omahe dewe, begitula kira-kira pandangan hidup masyarakat yang sesuai dengan folklor Sendang Lele diatas. Masyarakat harus percaya bahwa sebagus apapun daerah lain, tentunya daerah tempat tinggal kita lebih bagus. Hal lainnya yaitu, Ki Truno yang bersahabat baik dengan Pangeran Sambernyowo rela berpisah dengan sahabatnya tersebut yang meninggalkan Baseng. Ki Truno memilih tinggal di Baseng untuk menjaga desa tersebut karena sewaktu-waktu penjajah bisa saja datang ke daerah tersebut. Oleh karena itu Ki Truno tetap tinggal meskipun sahabatnya berpindah ke daerah lain untuk memerangi penjajah. Di dalam penggalan kisah tersebut secara tersirat dapat saya artikan bahwa disitu ada nilai-nilai untuk menjaga tanah Baseng apapun yang terjadi. Baseng harus dijaga oleh masyarakatnya dari segala bahaya yang mengancam. Nilai Pembangunan Ketika kita memiliki tekad yang kuat untuk mencapai suatu hal, maka harus dipertahanan hingga akhir. Untuk mencapai apa yang telah dicita-citakan haruslah memiliki semangat demi tercapainya kualitas hidup dan pembangunan ke arah yang lebih baik. Dalam pembangunan, nilai gotong royong sangat penting. Pekerjaan yang dilakukan bersama-sama akan lebih cepat selesai dibandingkan dikerjakan sendirian. Selain itu gotong-royong merupakan budaya masyarakat kita yang harus dilestarikan hingga akhir. Ketika kita pergi ke daerah lain, hal yang perlu kita ingat bahwa kita tidak boleh melupakan daerah sendiri. justru sebagai tempat hidup kita, kita harus membangun dan mengembangkan daerah kita. memang ada pepatah rumput tetangga lebih hijau, namun jangan lupa bahwa kita harus menjaga dan mengembangkan hal-hal yang menjadi milik kita sendiri. Implementasi Nilai Pembangunan Nilai perjuangan yang ada pada zaman dahulu ditujukan untuk melawan para penjajah yang akan melakukan aksi kolonialismenya, sedangkan saat ini nilai perjuangan lebih ditekankan pada perjuangan dalam hidup. Dalam hidup, masyarakat berjuang untuk menjadi manusia yang berhasil. Berhasil dapat diwujudkan dengan kerja keras dan penuh semangat. Manusia dikatakan berhasil atau sukses menurut masyarakat Dukuh Baseng, jika manusia tersebut dapat memenuhi kebutuhan duniawi dan kebutuhan akhiratnya. Kebutuhan duniawi meliputi tempat hidup yang layak, harta yang berkecukupan dan tentunya pekerjaan yang mapan. Sedangkan manusia yang dikatakan sudah memenuhi kebutuhan akhiratnya adalah ketika mereka sudah melakukan ibadah sesuai dengan agamanya serta berbagi kepada sesamanya (bersodakoh). Diatas telah dijelaskan bahwa masyarakat Dukuh Baseng memiliki nilai gotong-royong yang digunakan untuk melawan penjajahan. Pada saat sekarang ini nilai gotong-royong yang dapat membangun masyarakat Baseng itu sendiri pada khususnya tertuang dalam kegiatan-kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh masyarakat. masyarakat secara aktif melakukan kegiatan yang menjunjung kebersamaan seperti kegiatan bersih desa atau rasulan, kerja bakti, menolong tetangga yang tertimpa musibah dan sebagainya yang masih dilestarikan hingga saat ini. Umumnya masyarakat di Dukuh Baseng adalah masyarakat yang tingkat urbanisasi ke kota-kota besar lebih rendah jika dibandingkan dengan masyarakat desa-desa lainnya di daerah tersebut, ini dapat dikaitan dengan nilai membangun daerah . Hal ini berdampak positif bagi desa itu sendiri sekaligus pada kota-kota besar. Secara tidak langsung masyarakat yang tidak melakukan urbanisasi, kota-kota besar mendapatkan keuntungan karena masalah kepadatan penduduk. Selama ini pemerintah telah melakukan upaya untuk mengurangi jumlah penduduk yang merantau, tentunya dengan nilai kehidupan yang ada di mitos Sendang Lele ini bahwa masyarakat harus menjaga daerahnya maka dapat menunjang pembangunan nasional. Selain itu, masyarakat yang mencintai daerahnya dan memilih untuk tinggal di daerahnya secara langsung berdampak kepada daerah itu sendiri dimana lahan garapan di desa terawat. Berbagai sektor-sektor pekerjaan yang digarap maka dapat menunjang pembangunan desa itu sendiri sehingga terciptanya kehidupan yang maju dan lebih baik Kesimpulan Foklor merupakan budaya Indonesia yang harus kita jaga kelestariannya. Dalam perkembangan, foklor memiliki beberapa jenis, yakni folklor lisan, folklor tertulis dan folklor semi lisan. Salah satu macam folklor lisan yakni mitos. Mitos “Sendang Lele” yang ada di Kabupaten Sukoharjo memiliki nilai-nilai masyarakat yang dapat menunjang pembangunan bagi masyarakat itu sendiri pada khususnya, dan bagi kepentingan nasional pada umumnya. Selama ini folklor hanya dikenal sebagai ekspresi masyarakat yang dapat digunakan untuk menjelaskan masyarakat sekaligus mengendalikan masyarakat itu sendiri. Hal lain yang harus dilihat dari kekayaan budaya yang berkembang di tiap-tiap daerah ini bahwa folklor memiliki manfaat nyata yang dapat menunjang pembangunan. Folklor dapat menunjang pembangunan dalam masyarakat melalui nilai-nilai yang termuat didalamnya. DAFTAR PUSTAKA Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Levi Strauss, Mitos dan Karya Sastra Bab IX. Yogyakarta: Kepel Press. Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti Endraswara, Suwardi (ed). 2013. Folklor Nusantara: Hakikat, Bentuk, dan Fungsi. Katalog Dalam Terbitan. Yogyakarta: Penerbit Ombak Wawancara dengan Bapak Mulyanto, S.E. (49 tahun), selaku Ketua RT 01/RW 04 Desa Gentan Wawancara dengan Ibu Tri, selaku pengunjung LAMPIRAN gambar: bangunan yang ada di sendang lele (sumber:dokumentasi penulis) gambar: lele-lele yang tumbuh di sendang (sumber:dokumentasi penulis)

SUSAHNYA AKSES KE SEKOLAH (ANTROPOLOGI PENDIDIKAN)

SUSAHNYA AKSES KE SEKOLAH Oleh: Ayu Ratna Sari Pendidikan sangat penting bagi kita yang telah menghadapi globaslisasi. Apalagi sekarang ini telah dibukanya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang menyebabkan kita harus mampu bersaing dengan dunia luar. Untuk itu sistem pendidikan Indonesia harus dibenahi dan harus lebih ditingkatkan lagi. Mulyasa (2006:23) mengungkapkan bahwa salah satu kelemahan sistem pendidikan nasional yang dikembangkan di tanah air adalah kurangnya perhatian pada output. Standarisasi kurikulum, buku, alat, pelatihan guru, sarana dan fasilitas sekolah merupakan wujud kendali pemerintah terhadap input dan proses yang harus berlangsung di dalam sistem. Sekolah-sekolah yang berada di pusat pemerintahan memang telah maju dan dapat diakses oleh seluruh siswa, namun bagaimana dengan siswa-siswa yang berada di daerah yang luput dari pantauan? Sementara itu dikalangan masyarakat permasalahannya lain lagi. Masyarakat menilai sekolah satu dengan sekolah yang lainnya memiliki perbedaan kualitas kendati sekolah tersebut pada jenjang yang sama serta sama-sama berstatus negeri, khususnya pada jenjang SLTA. Untuk itu masyarakat menggolongkan sekolah ke dalam kelompok sekolah favorit dan sekolah yang tidak favorit. Tentu saja sekolah favorit selalu diserbu oleh siswa-siswa yang berasal dari berbagai daerah. Hal ini tentunya menyebabkan ketimpangan sosial antar sekolah. Ada kategorisasi tertentu siswa yang dapat sekolah di SLTA favorit. Siswa yang pandai tidak melulu dapat masuk di sekolah favorit dan yang kurang pandai masuk di sekolah non favorit. Sekolah yang ada di salah satu daerah terpencil di kabupaten sukoharjo kiranya dapat menggambarkan permasalahan-permasalahan diatas. Sepenggal kisah berikut ini diharapkan mampu mewakili suara sekolah-sekolah yang berada jauh dari pusat kota. Adoh Ratu Cedhak Watu Saya akan menceritakan kisah perjalanan saya dalam menimba ilmu di dunia pendidikan. Tujuan tulisan ini diharapkan dapat sedikit membantu menggambarkan keadaan siswa-siswa yang ada di daerah “adoh ratu cedhak watu”, yang kurang mendapat “jamahan” dari pemerintah. Saya tinggal di Desa Kunden, Kecamatan Bulu yang bertempat di Kabupaten Sukoharjo, Kota Solo, Jawa Tengah. Daerah tersebut terletak di ujung selatan Sukoharjo, dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Wonogiri. Dari kota Solo sendiri dapat ditempuh perjalanan sekitar 75 menit dengan kendaraan pribadi. Jadi cukup benar jika daerah saya merupakan daerah yang jauh dari pemerintahan dan dekat dengan pegunungan. Semenjak saya hidup di daerah tempat tinggal saya ini, sekolah-sekolah mengalami perubahan yang sangat dinamis. Dahulu sewaktu saya masih berusia enam tahun di bangunlah Sekolah Menengah Atas (SMA) satu-satunya di kecamatan, sedangkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah ada dua yang berstatus negeri dan satu yang berstatus swasta. Untuk Sekolah Dasar (SD) rata-rata setiap keluarahan memiliki tiga sekolahan yang semuanya berstatus negeri. Saat itu belum ada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan Tanaman Kanak-Kanak hanya ada satu sekolah di kecamatan. Namun akhir-akhir ini sekolah-sekolah yang ada di Kecamatan Bulu sudah mulai berkembang, meskipun dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai permasalahan yang dialami masyarakat di dalam dunia pendidikan. Pengalaman Sekolah Roboh Saya dan siswa-siswa pada umumnya mulai menginjak sekolah pada usia ke enam. Tidak sempat mencicipi pendidikan usia dini ataupun taman kanak-kanak karena jenjang pendidikan tersebut menurut masyarakat hanya diajari main-main dan nyanyi-nyanyi, sehingga masyarakat menganggapnya tidak penting. “Anak Saya tidak Saya sekolahkan di TK, langsung SD saja, Yu” Kata Bu Rahayu saat sedang berbelanja sayuran di warung Bu Sumini. “Iya, Ayuk juga tidak saya sekolahkan TK. TK juga tidak diajari cara membaca katanya.” Kata Ibu Sumini yang merupakan Ibu Saya. Begitulah kita-kira percakapan perdebatan ketika saya baru awal masuk sekolah dasar di SDN Negeri Kunden 3. Untungnya, selama menimba ilmu di sekolah dasar saya dapat mengikuti pembelajaran, sehingga di kelas satu SD saya sudah mampu membaca. Saat ini saya ingat betul karena murid di SD tersebut hanya tujuh orang yang menduduki kelas satu SD. Saya ingat ketika guru memarahi keempat teman saya karena tidak bisa mengeja kata, saya dan kedua teman saya selalu aman luput dari “kegemesan” guru terhadap muridnya. Dari hal tersebut dapat saya simpulkan bahwasanya pendidikan sebelum siswa menginjakkan kaki di dunia sekolah formal memang sangat penting adanya. Sebab tidak semestinya semua beban diberikan kepada guru sekolah dasar untuk mengajari anak dari tingkat nol. Menurut Soemiarti (dalam Kolin 2012) bahwa Taman Kanak-Kanak merupakan salah satu bentuk pendidikan anak usia dini yang menyediakan berbagai program belajar melalui bermain untuk membantu anak mencapai pertumbuhan dan perkembangan diri yang optimal. Soemiarti menambahkan bahwa hal ini sesuai dengan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0486/U/1992 Bab 1 Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, Pendidikan Taman Kanak-kanak merupakan wadah untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik sesuai dengan sifat-sifat alami anak. Jadi disini peran Taman Kanak-kanak sangat diperlukan agar siswa siap secara mental menghadapi tingkat sekolah dasar. Sewaktu istirahat guru-guru melarang kami bermain di dekat tembok sekolah karena tembok sekolah kami merupakan bangunan yang sudah sangat tua, dindingnya mengalami keretakan-keretakan. Pernah suatu ketika diruang kelas kami yang saat itu kelas dua SD, bongkahan tembok mengelupas dan jatuh ke lantai ubin saat kegiatan belajar mengajar. Hal ini mengakibatkan hebohnya seluruh isi kelas. Bu Guru lalu bertindak cepat untuk mengarahkan kami keluar kelas. Setelah semuanya sudah tenang dan bongkahan bangunan sudah dibersihkan, kami melanjutkan pelajaran seperti biasa tentu saja guru-guru pasti sangat cemas waktu itu. Sekolah yang tua tak mampu bertahan lagi setelah guncangan gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006 silam. SD Negeri Kunden 3 resmi tidak bisa digunakan lagi dan sekolah resmi ditutup. Siswa-siswa berpindah ke SD Negeri Kunden 2 atau SD Negeri Puron 1, begitu pula dengan guru-guru yang mengajar. SD yang direkomendasikan tersebut jaraknya tergolong jauh dari SD Kunden 03, yaitu sekitar dua kilo meter. Saat itu siswa-siswa yang tidak memiliki sepeda harus kesusahan untuk berangkat ke sekolah karena jarak sekolah yang tidak dekat. Orstein (dalam Nuraihan, dkk. 2015) The provision of public facilities must be planned based equally distributed, accessible, safe, provide interaction and must be properlydesigned. All these school facilities must be adequately provided for and managed. The principles areapplicable in the school planning as school is one of the components of public facilities. Normally, the development of school process starts with identifying the location of public schools and selecting the suitable land for building a new school or expanding the existing school. Bahwa pentingnya sarana prasarana untuk fasilitas umum, dan dalam hal ini adalah sekolahan harus dipikirkan secara matang perencanaannya. Fasilitas tersebut hendaknya diberikan secara merata, dapat diakses oleh siapa saja serta memberikan rasa aman. Oleh karena itu pengadaan fasilitas umum, terutama sekolah harus dipikirkan dahulu berbagai kemungkinan yang ada agar kegiatan belajar-mengajar diharapkan berjalan lancar dan tidak menimbulkan keresahan di masyarakat. Penduduk akan terus membengkak dan arah pembangunan perlu ditujukan untuk memenuhi desakan kebutuhan penduduk usia tersebut. Pembangunan sarana pendidikan serta pembangunan jangka panjang, seperti gedung sekolah penyediaan guru, dan fasilitas pendidikan lainnya merupakan hal yang mendesak yang perlu ditanggulangi (Munib, dkk. 2016: 125). Sekolah Favorit dan Sekolah Bukan Favorit Menurut Jabar (2014) bahwa sekolah unggul dipersepsikan sebagai sekolah yang mampu menghasilkan otuput maksimal dari input yang minimal. Keunggulan sekolah mencakup input, proses, dan output. Keunggulan merupakan hasil kerja sama dari semua pihak dalam mewujudkannya. Waktu itu permasalahan klasik yang dialami orang tua yang memiliki anak yang akan menginjak SMP adalah ketika anak mereka yang tidak diterima di SMP N 1 Bulu. Mereka harus menyekolahkan anaknya di sekolah swasta karena SMP N 2 Bulu hampir tidak mungkin dijangkau karena jaraknya sangat jauh. Tentu saja jika mereka menyekolahkan anaknya di sekolah swasta para orangtua harus merogoh kocek lebih dalam lagi, selain itu sekolah swasta di Bulu mendapatkan stereotype yang kurang baik di kalangan masyarakat karena anak-anak mereka cenderung akan terjerumus ke dalam masa remaja yang negatif jika sekolah di sekolah swasta tersebut. Namun sejak tahun 2006 smp swasta diganti dengan SMP Negeri 3 Bulu. Ini menjawab keresahan masyarakat mengenai biaya. Ironisnya tidak berubah mengenai pandangan masyarakat yang sebisa mungkin menjauhi SMP tersebut dan menyekolahkan anaknya di SMP yang favorit dan berstandar nasional seperti di SMP N 1 Bulu. Pembedaan sekolah negeri-swasta mengakibatkan image negatif di masyarakat umum yang mengingkari kualitas sekolah swasta. Sekolah berkualitas sering diidentikkan dengan tampilan visual yang mencerahkan harapan. Fasilitas luks, seragam elit, gedung sekolah yang berpagar megah dan bertingkat merupakan simbol sekolah berkualitas. Sekolah berkualitas adalah sekolah yang mahal, sebuah persepsi yang tidak selamanya benar (Martono. 2010). Permasalahan kemelut memilih SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) di kalangan masyarakat Kunden, Bulu dan Sekitarnya kurang lebih sama dengan permasalahan terkait memilih SMP. Masih berkutat pada seputar sekolah favorit dan sekolah yang tidak favorit. Namun kali ini keresahan tidak ditekankan bukan pada para orang tua, melainkan di kalangan para siswa sendiri. Seperti pada pengalaman saya waktu itu, “Besok melanjutkan sekolah SMA dimana, Yuk?” Tanya Nanda pada saya waktu itu. Saya menjawab “Tidak tahu. Jika nilainya bagus di SMA Tawangsari mungkin. Lha Nanda sendiri gimana?” “Ahh, ya jelas di SMA Tawangsari. Malu sama teman-teman kalau tidak di SMA bagus.” Lanjut Nanda menjawab pertanyaan yang saya berikan. Saya bertanya “Ohh, berarti yang lainnya juga di SMA favorit?” “Dengar-dengar iya. Bahkan katanya Gilang mau ke SMA 1 Sukoharjo.” Jawab Nanda meyakinkan. Dari cerita-cerita yang berkembang lewat mulut-kemulut bahwa siswa yang bisa sekolah di SLTA favorit akan lebih merasa bangga dari pada siswa yang sekolah di SLTA yang kurang favorit. Meskipun demikian antara SLTA yang dianggap favorit dan SLTA yang kurang dianggap favorit sama-sama sekolah negeri yang dibiayai oleh pemerintah daerah Sukoharjo. Di Sukoharjo memang sudah diterapkan wajib belajar 12 tahun. Oleh karena itu wajar saja jika Sukoharjo menolak pengambilalihan pendidikan dibawah provinsi. Belasan ribu pelajar dan guru tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) menolak pengambilalihan kewenangan dan meminta Undang-Undang No. 23/2014 tentang Otonomi Daerah ditinjau ulang. Bahkan Bupati Sukoharjo, Wardoyo Wijaya dan pimpinan DPRD Sukoharjo turun berorasi ditengah-tengah massa yang masyoritas pelajar (Solopos). Pada dasarnya para siswa dan masyarakat memandang tingkat “kefavoritan” bukan dari sudut pandang negeri atau swasta melainkan dari kota atau tidaknya serta tingkat kesulitan sekolah tersebut untuk dimasuki. Sekolah yang berada di kota adalah sekolah yang favorit, apalagi sekolah di kota membatasi jumlah siswa yang dapat diterima. Siswa yang pandai tidak melulu masuk di sekolah favorit dan yang kurang pandai masuk di sekolah yang favorit. Beberapa alasan teman saya yang saya nilai sebagai siswa yang pandai yang tidak bersekolah di sekolah yang favorit kendati nilainya memenuhi untuk bersekolah disana karena tidak lain karena terbatasnya akses untuk menuju ke SLTA yang berada di kota. Siswa yang memiliki kendaraan pribadi (sepeda motor) dapat sekolah di SLTA favorit, sedangkan siswa yang tidak memiliki kendaraan pribadi harus merelakan mimpi untuk sekolah di SLTA favorit. Terbatasnya Akses Ke Sekolah Dari zaman saya sekolah di SLTA hingga zaman sekarang ini siswa memiliki kesulitan dalam hal akses ke sekolah. Angkutan umum sangat sulit ditemukan dan jumlahnya sangat terbatas. Angkutan umum hanya ada di saat-saat tertentu saja. Saat jam-jam siswa beragkat ke sekolah dan saat siswa pulang dari sekolah. Pernah ada suatu kejadian, sekolah di SMA saya adalah sekolah yang lumayan favorit, dan jarak dari rumah saya relatif jauh. Waktu itu saya tidak membawa kendaraan karena sedang dipakai ayah saya. Hari itu saya benar-benar ingin menangis karena berangkat sekolah diangkut oleh bus umum yang penuh dan harus berdesak-desakan di pintu bus. Jangan bayangkan bus yang ada di tempat saya bus seperti yang sering kita lihat di kota-kota. Bus yang ada di daerah saya bus colt atau mini bus. Kesusahan saya waktu itu tidak hanya berhenti disitu. Pulang sekolah pada pulul 13.30 tepat, namun saya tidak langsung pulang karena harus piket terlebih dulu. Kendati sudah piket dengan tergesa-gesa, bus yang biasa mengangkut sudah pergi. Dan saya menunggu untuk waktu yang sangat lama. Saya hampir menangis. Untungnya tetangga saya ada yang belum pulang karena sedang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Alhasil, saya pulang sangat sore karena menunggu hingga tetangga saya tersebut selesai mengikuti ekstrakulikuler. Dari cerita tadi mungkin dapat sedikit menggambarkan bahwa susahnya jika siswa yang tidak memiliki kendaraan pribadi dan ia harus pergi ke sekolah yang berada di kota. Sekarangpun tidak jauh berbeda, bahkan lebih mengenaskan lagi. Dari penuturan Nicho (16) tahun “Sekarang bus sudah jarang, Mbak. Paling dua kali sehari lewatnya.” Oleh karena itu secara tidak langsung terbatasnya akses untuk menuju sekolah yang dianggap favorit menghalangi daya saing siswa. Siswa yang tidak memiliki akses yang baik memiliki peluang rendah, atau bahkan sama sekali tidak memiliki peluang daripada siswa dengan daya akses yang tercukupi. Daya akses tercukupi yang dimaksud bukan hanya siswa yang memiliki kedaraan pribadi saja, melainkan siswa yang tinggal dekat dengan pusat kota. Sehingga ia mudah untuk mencapai lokasi sekolah favorit tersebut. Mobilitas atau akses menjadi persoalan yang sangat penting. Ritzer (2012: 983-984) para pecundang tidak hanya tanpa mobilitas, tetapi juga disingkirkan dan dibatasi pada wilayah-wilayah yang dilucuti dari makna dan bahkan kemampuan untuk menawarkan makna. Dengan demikian, jika yang elite mungkin dimabukkan oleh kesempatan mobilitas mereka, yang lain sangat mungkin merasa terpenjara dalam wilayah rumah mereka, tempat mereka tidak memiliki banyak peluang untuk bergerak. Kira-kira penjelasan Ritzer diatas sangat tepat untuk menjelaskan bahwa keadaan masyarakat kota memang sangat mudah. Mereka bebas mengakses fasilitas, termasuk fasilitas sekolah. Sedangkan masyarakat yang berada di desa harus terkurung dalam wilayah mereka karena keterbatasan akses dan mobilitas. Kesimpulan Di daerah yang jauh dari kota, kemudahan mengakses pendidikan masih menjadi barang yang mahal untuk di dapat. Kurangnya fasilitas dan sarana prasarana menjadi alasan utama mengapa hal yang demikian dapat terjadi. Masyarakat kota terus berkembang dalam bidang pendidikannya, sehingga siap bersaing dengan arus globalisasi yang semakin kencang bak paket internet 4G. Berbanding dengan masyarakat yang kurang mendapatkan perhatian dimana mengalami serba keterbatasan. Mulai dari keterbatasan akses hingga keterbatasan sarana dan prasarana. Anggapan masyarakat mengenai sekolah yang favorit dengan sekolah yang kurang favorit berdasarkan pembahasan diatas menurut saya, muncul karena deskriminasi penyediaan fasilitas. Sekolah favorit berada di kota dengan segala fasilitas yang tercukupi. Sedangkan masyarakat desa memiliki berbagai keterbatasan untuk mengakses fasilitas pendidikan ke kota yang dinilai lebih maju. DAFTAR PUSTAKA Buku Mulyasa. 20016. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Munib, Akhmad, dkk. 2016. Pengantar Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Semarang: UNNES Press Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmoder. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Jurnal Jabar, Cepi Safruddin Abd. 2014. Pencapaian Keunggulan Pada SMA Negeri dan Swasta Berkategori Unggul di Kota Bandung. Jurnal. ISSN 1412-565X. (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132243758/Pencapaian%20keunggulan_jurnalpenelitianUPI_0.pdf) diakses pada 31 Oktober 2016 pukul 1:10 Kolin, Yosefina Hingi. 2012. Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Penggunaan Media Gambar Pada Anak Kelompok A TK Indriyasana Baciro Yogyakarta. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta. (http://eprints.uny.ac.id/8988/2/bab%201%20-%2009111247039.pdf) diakses pada 28 Oktober 2016 pukul 22:38 WIB. Martono, Nanang. 2010. Kritik Sosial Terhadap Praktik Pendidikan dalam Flm “Laskar Pelangi”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Volume 3, Nomor 16 (http://nanang-martono.blog.unsoed.ac.id/files/2010/08/Laskar_Pelangi.pdf) diakses pada 31 Oktober 2016 pukul 0:49 WIB. Nuraihan, Mohd Ibrahim et al. 2015. Assessment on the Condition of School Facilities: Case study of the selected public schools in Gombak district. International Journal. ASLI QoL2015, Annual Serial Landmark International Conferences on Quality of Life (http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1877042816302257) diakses pada 31 Oktober 2010 pukul 0:15 Surat Kabar Suryono, Trianto Hery. 2016. Didukung Bupati dan Pimwan, Ini Isi Tuntutan Demonstran. SOLOPOS, 28 Maret 2016. Biodata Penulis Ayu Ratna Sari NIM. 3401414068 Mahasiswa Jurusan Sosiologi & Antropologi – Fakultas Ilmu Sosial – Universitas Negeri Semarang Organisasi: Fungsionaris Hima SosAnt periode 2015 dan 2016, Ikemas (Ikatan Keluarga Mahasiswa Sukoharjo) e-mail: qars160913@gmail.com nomor telepon/whatsapp 085725225977 follow IG: ayuratnas96, FB Ayu Ratna Sari www.leeayuratna.blogspot.com selalu semangat download drama korea terbaru

Adaptasi Masyarakat Objek Wisata Batu Seribu (ANTROPOLOGI EKOLOGI)

Di Kabupaten Sukoharjo ada keindahan alam yang dikembangkan menjadi wisata alam oleh pemerintah daerah. Dahulu keindahan alam ini tak terawat dan tak ada yang merawat dan dibiarkan begitu saja oleh masyarakat. Namun akhir-akhir ini keindahan alam yang terletak di dukuh Baseng, Desa Gentan tersebut dilirik oleh pemerintah daerah untuk dikembangkan menjadi desa wisata. Masyarakat Baseng yang daerahnya dikembangkan menjadi objek wisata mau tak mau harus beradaptasi dengan keadaan barunya. Jika dulu mereka menikmati keindahan alam untuk masyarakatnya sendiri, sekarang mereka mendapatkan kunjungan dari wisatawan berbagai daerah. Adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan hidup. Salah satu dari syarat tersebut adalah syarat sosial dimana manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keteraturan untuk tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaan (Suparlan. 1993: 2). Dukuh Baseng adalah sebuah dukuh yang terletak di Desa Gentan, Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo. Sekitar delapan bulan ini, dukuh tersebut sedang digalakkan pemerintah daerah sebagai daerah wisata. Tempat ini sangat cocok dijadikan sebagai daerah wisata karena selain pemandangannya yang indah, terdapat pula peninggalan-peninggalan sejarah yang mengandung unsur religi dan budaya. Kawasan obyek wisata di Baseng memiliki potensi alam dan potensi wisata yang beragam. Obyek wisata tersebut antara lain: Kolam Renang Pacinan, Sendang Ki Truno Lele, Selfie Gunung Sepikul, bumi perkemahan, taman bermain. Berbagai macam objek wisata yang ada di Baseng tersebut oleh wisatawan domestik lebih akrab disebut Kawasan Wisata Objek Batu Seribu karena di tempat wisata tersebut memang ditemukan banyak sekali bebatuan yang sangat banyak. Untuk berpindah dari satu tempat wisata ke tempat lainnya tidak terlalu jauh hanya berjarak sekitar 500 meter, namun harus melewati jalan beraspal sempit yang curam karena objek wisata berada di tempat ketiggian. Berbagai macam kegiatan dilakukan oleh masyarakat dukuh baseng untuk menghadapi daerahnya yang kini menjadi daerah wisata. Kegiatan adaptasi yang paling menonjol tersebut yaitu biasanya para pemuda yang menjaga parkir. Jika dahulu sebelum daerah wisata dikembangkan, sepulang sekolah biasanya para pemuda di dukuh Baseng menghabisakan waktunya untuk bermain, maka sekarang bermain banyak dilakukan di daerah tempat wisata bersama teman-temannya sekaligus menjaga parkir. Tarif parkir adalah Rp. 2000 untuk setiap tempat wisata. Hasil parkir yang di dapatkan kemudian digunakan untuk mengisi kas desa. Selanjutnya bagi pria dewasa yang berkisar usia 22 tahun sampai 45 tahun menawarkan ojek di pintu masuk objek wisata Baseng. Terbatasnya akses untuk memasuki kawasan wisata tersebut karena jalanan curam dan sempit sehingga tidak ada kendaraan umum yang diperkenankan naik dan memasuki kawasan tersebut. Kendaraan yang dapat mengakses wisata hanya terbatas untuk sepeda motor, sedangkan mobil pribadi dapat mengakses namun di kawasan tertentu seperti selfie Gunung Sepikul dan sendang Lele. Untuk masuk ke kawasan kolam renang dan bumi perkemahan mobil pribadi mengalami kesusahan karena sempitnya jalan akses tadi. Di tempat-tempat kawasan Wisata Batu Seribu terlihat warung-warung yang menyediakan barbagai kebutuhan dan keperluan yang mungkin dibutuhkan oleh pembeli. Seperti pada wisata Selfie Gunung Sepikul warung-warung menyediakan minuman dingin dan snak ringan yang biasa diperlukan para wisatawan untuk bekal mendaki area wisata. Pada kawasan wisata Sendang Lele, penjual menawarkan pakan lele yang dapat digunakan para pengunjung untuk memberi makan lele-lele yang ada di sendang. Sedangkan untuk wisata kolam renang banyak penjual yang menawarkan makanan hangat seperti mi instan dan teh panas. Para penjual yang membuka lapak kebutuhan wisatawan tersebut adalah masyarakat yang tinggal di Baseng. Penjual-penjual makanan didominasi oleh ibu-ibu paruh baya. Selain adaptasi diatas, masyarakat juga melakukan adaptasi yang bentuknya kepercayaan. Selama menjadi daerah wisata ini masyarakat Baseng menyadari bahwa tempatnya sering dijadikan kawasan pacaran bagi anak-anak muda. Pacaran yang dilakukan anak muda di kawasan objek wisata tergolong “kelewat batas”. Oleh karena itu masyarakat Baseng melakukan bersih desa (rasulan) yang rutin dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Tujuan dari bersih desa ini adalah sebagai perwujudan terimakasih kita terhadap karunia alam yang diberikan Tuhan sehingga masyarakat mampu mendapatkan hasil yang melimpah dari karunia tersebut. Selain itu bersih desa ini juga ditujukkan untuk membuang segala bentuk kesialan yang ada di desa, termasuk salah satunya adalah kesialan yang disebabkan oleh wisatawan domestik yang berbuat “tidak senonoh” di kawasan wisata Baseng. DAFTAR PUSTAKA Suparlan, Parsudi. 1993. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor

Berkurangnya Lahan Hutan Mempengaruhi Kehidupan Warga Perumahan (ANTROPOLOGI EKOLOGI)

Berkurangnya Lahan Hutan Mempengaruhi Kehidupan Warga Perumahan Pendahuluan Di bumi tempat kita tinggal ini terdapat berbagai macam ekosistem. Ekosistem merupakan hubungan saling ketergantungan antara manusia dengan lingkungannya. Ekosistem dapat mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang disebabkan oleh faktor alam maupun perubahan yang disebabkan oleh manusia. Perubahan tersebut bisa saja perubahan yang besar ataupun perubahan yang kecil. Oleh karena itu, ekosistem memiliki sifat yang dinamis. Ekosistem hutan merupakan salah satu jenis dari ekosistem. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hutan merupakan penyumbang oksigen terbesar bagi kehidupan kita. Namun permasalahannya adalah sebagai makhluk hidup, manusia dinilai memanfaatkan hutan secara kurang bijak. Dalam perkembangannya, hutan banyak yang dialih fungsikan untuk membuka lahan baru. Seperti pada kasus yang terjadi di Kalibagor, Kabupaten Banyumas. Hutan ditebangi dan dikeruk tanahnya untuk dijadikan kompleks perumahan. Hal ini tentunya mengakibatkan lahan untuk hutan yang semakin berkurang dan tentu saja ekosistem mengalami perubahan. Metode dan Kerangka Teori Penulis melakukan penelitian lapangan selama delapan hari di Perumahan Bukit Kalibagor Indah di Kecamatan kalibagor, Kabupaten Banyumas yang merupakan sebuah perumahan yang dibangun dengan membuka lahan hutan. asal mula mengapa penulis melakukan pengamatan di daerah tersebut karena selama liburan menjelang ujian, penulis mengunjungi rumah saudara dan di situ penulis menemukan bahwa tempat tersebut merupakan sebuah hutan yang sebagian lahannya harus dialihfungsikan menjadi lahan hunian, oleh karena itu fenomena tersebut menarik untuk dikaji menggunakan perspektif antropologi ekologi. Untuk memperoleh data dilakukanlah pengamatan. Data yang diperoleh dari pengamatan saja dinilai tidak cukup untuk itu dilanjutkan dengan wawancara. Fenomena terkait ekosistem hutan ini dikaji menggunakan antropologi ekologi. Dari empat aliran teori antropologi ekologi yang dikemukakan oleh Julian Steward, penulisan ini berpijak pada pendekatan ekosistemik material. Pendekatan ekosistemik material (dalam Brata. Talang, Dusun, dan Desa di Sumatera Selatan dalam Analisis Antropologi-Ekologi) merupakan aliran yang terdapat dalam berbagai studi yang dilakukan oleh para ahli antropologi yaitu Andrew Vayda (1961, 1967), Roy Rappaport (1967, 1968, 1971), Marvin Harris (1966), dan Antony Leeds (1965). Aliran ini adalah aliran ekologi neo-fungsional (neo-fungtional ecology). Penelitian ini difokuskan pada aspek-aspek ekologi atau lingkungan yang apa pada ekosistem hutan yang sekarang ini mengalami perubahan. Hal ini menyebabkan ekosistem baru tersebut harus beradaptasi dengan keadaannya. Bennett (dalam Ahimsa-Putra. 2003:10) mengungkapkan bahwa adaptive strategies adalah “the patterns formed by the many separate adjustments that people devise in order to obtain and use resources and to solve the immediate problems confronting them.” Dapat pula diartikan bahwa pola yang terbentuk oleh banyak penyesuaian-penyesuaian yang terpisah bahwa orang-orang merancang untuk mendapatkan dan menggunakan sumber daya untuk segera memecahkan masalah yang mereka hadapi. Pembahasan Perumahan Bukit Kalibagor Indah yang terletak di kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas merupakan sebuah perumahan baru yang di bangun 5 tahun belakangan ini. Perumahan ini terdiri dari 6 Rukun Tetangga (RT) dan ada 8 blok, yaitu Blok A hingga Blok H. Sebelum menjadi hunian, tempat ini dulunnya adalah sebuah hutan dengan lahan yang luas yang menyediakan berbagai kekayaan hutan. Bahkan saat ini sebagian hutan masih berdiri, sehingga perumahan ini berdampingan dengan tumbuhan-tumbuhan besar yang semakin hari jumlahnya semakin berkurang. Perumahan Bulit Kalibagor Indah dibangun oleh pihak swasta yang membeli tanah milik pemerintah daerah. Perumahan ini dibangun dengan membabat tumbuhan dan kemudian tanahnya dikeruk menggunakan alat berat. Hal ini menimbulkan gangguan pada lingkungan hutan akibat campur tangan manusia yang berusaha untuk mencari keuntungan akan kekayaan alam. Hal yang demikian kita kenal dengan kapitalisme, Ritzer (2012:99) di dalam suatu kapitalis komoditas, tujuan utamanya adalah menghasilkan uang yang lebih banyak. Komoditas-komoditas dibeli untuk menghasilkan keuntungan. Di dalam kasus ini hutan sebagai penghasil oksigen terbesar di bumi serta sebagai tempat tinggal berbagai makhluk hidup diperjualbelikan untuk memperoleh keuntungan bagi kelompok-kelompok tertentu. Hal ini tentunya mengakibatkan kerusakan pada ekologi hutan. Sebelum perumahan ini dibangun, hutan yang ada di bukit ini dinilai kurang dikelola secara maksimal. Pastilah yang menjadi harapan setiap masyarakat adalah bahwa hutan ini dapat dimanfaatkan dengan baik sehingga dapat digunakan untuk kebutuhan masyarakat, namun juga tidak melupakan prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan yang seperti ini masih sangat sulit dilakukan, khususnya di Kalibagor ini sendiri karena kurangnya dukungan dari berbagai pihak. Warga yang telah menempati Perumahan Bukit Kalibagor Indah memiliki suatu kisah misterius yang ada di lingkungan mereka bahwa suatu ketika anak seorang warga di perumahan tersebut menghilang selama tiga hari tiga malam. Selama menghilang tersebut orang tuanya selalu mencari anak tersebut namun tidak diketemukan sama sekali. Barulah selama tiga hari telah berlalu anak itu ditemukan di dekat hutan yang ada di belakang kompleks perumahan. Masyarakat menganggap bahwa anak itu dibawa oleh makhluk halus penghuni hutan. Cerita tersebut membuat warga Perumahan Bukit Kalibagor Indah merasa takut dan kurang nyaman dengan tempat tinggal mereka, terlebih ada berita yang beredar bahwa perumahan mereka dibangun di area hutan yang dahulunya digunakan sebagai tempat pembuangan mayat pada masa penjajahan Belanda. Entah hal ini hanya mitos belaka atau benar-benar terjadi, namun warga di perumahan ini menganggap hal tersebut sebagai apa yang mereka yakini. Masyarakat Perumahan Bukit Kalibagor Indah mau tak mau harus menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggalnya. Masyarakat tak ingin menganggu hutan, karena masyarakat juga tak ingin diganggu oleh hutan. Oleh karena itu masyarakat melakukan upaya untuk berdamai dengan hutan yang masih tersisa di dekat perumahan. Berdasarkan pengalaman tersebut maka semakin berkembanglah mitos-mitos masyarakat yang ada di kompleks perumahan ini yang mendorong mereka untuk melakukan hal-hal tertentu seperti, pada menjelang magrib warga harus menutup pintu rumahnya rapat-rapat serta anak-anak tak diperbolehkan main di dekat hutan. Selain hal itu, kehidupan hutan yang belum sepenuhnya dijadikan hunian, kini mempengaruhi kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan Bukit Kalibagor Indah. Di perumahan tersebut banyak sekali dijumpai nyamuk-nyamuk. Setiap waktu entah itu pagi, siang, sore ataupun malam hari selalu ada nyamuk, tetapi para warga merasa nyamuk yang paling banyak muncul pada magrib hingga dini hari. Nyamuk-nyamuk tersebut memberikan dampak kepada masyarakat, terbukti banyak warga Perumahan Bukit Kalibagor Indah yang menderita penyakit demam berdarah. Demam berdarah tidak hanya menyerang kalangan tertentu saja, melainkan menyerang semua umur. Bahkan demam berdarah menyebabkan kasus orang meninggal di perumahan ini. Nyamuk-nyamuk ini diduga berasal dari hutan yang kemudian pindah kerumah-rumah warga. Berbagai upaya tentu sudah dilakukan masyarakat untuk menanggulangi masalah nyamuk yang dapat menyebabkan penyakit berbahaya ini. Masyarakat Bulit Kalibagor Indah telah beradaptasi dengan cara melakukan fogging atau pengasapan di lingkungan tempat tinggal mereka, selain itu mereka juga rutin membersihkan lingkungan. Solusi tersebut dinilai tepat untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan hewan nyamuk yang berkembang biak di kawasan tersebut. Bagaimanapun sebagai makhluk hidup, manusia harus berpartisipasi aktif untuk menjaga kelestarian makhluk hidup lainnya. Pihak-pihak tertentu diharapkan tidak mengambil keuntungan yang dapat merusak ekosistem, khususnya ekosistem hutan. kita harus selalu percaya bahwa ekosistem yang rusak, akan memberikan dampak yang negatif pula pada kehidupan di bumi. DAFTAR PUSTAKA Ahimsa-Putra, Hedy Shri. 2003. Prologue: Dari Ekonomi Moral, Rasional, ke Politik Usaha. Yogyakarta: Kepel Press Brata, Nugroho Trisnu. Talang, Dusun, dan Desa di Sumatera Selatan dalam Analisis Antropologi-Ekologi (https://www.academia.edu/8442799/TALANG_DUSUN_DAN_DESA_DI_SUMATERA_SELATAN_DALAM_ANALISIS_ANTROPOLOGI-EKOLOGI?auto=download) Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar LAMPIRAN (Sumber: dokumentasi pribadi penulis)

POWTOON PEMBELAJARAN SOSIOLOGI MODERNISASI GLOBALISASI



hay hay hay... ini karya saya lho

mohon maaf sebelumnya kalau hanya seadanya soalnya kendala kejar tugas sama kejar wifi alias susah cari wifi yang memadai hehe..

terimakasih telah menonton dan jangan lupa tinggalkan komentar yaaa