TAMBAK
LOROG DAN PROGRAM-PROGRAM PEMERINTAH
Indonesia
adalah negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah
perairan dan daratan dimana dua pertiganya adalah wilayah laut atau perairan.
Wilayah perairan Indonesia membatasi pulau-pulau yang ada dengan luas laut
kurang lebih 5.193.250 km² dan terletak di antara dua benua dan dua samudera
yaitu benua Asia dan Australia, samudera Hindia dan Pasifik.[1]
Sebagai
negara yang memiliki wilayah kelautan, maka terdapat masyarakat nelayan dalam
sosial masyarakat Indonesia. Masyarakat nelayan hidup dan tinggal di kawasan
transisi antara darat dan laut atau biasa disebut daerah pesisir. Meskipun kita
semua menyadari bahwa tidak semua desa-desa di kawasan pesisir memiliki
penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan, namun kebudayaan nelayan
memegang kendali mayoritas terhadap identitas kebudayaan masyarakat pesisir.
Kebudayaan nelayan umumnya berkembang secara turun temurun dari sutu generasi
ke generasi lainnya.
Salah
satu kampung nelayan yang ada di wilayah Jawa Tengah adalah Desa Tambak Lorok
yang terletak di Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara, Kabupaten
Kota Semarang. Hampir seluruh masyarakat desa Tambak Lorok bekerja di sektor
nelayan, meskipun ada beberapa yang bekerja di pabrik namun jumlahnya tak
seberapa. Hasil tangkapan para nelayan sangat beraneka ragam, beberapa
diantaranya yaitu Udang, Cumi-cumi, Ikan Kempar, Ikan Sriding, Ikan Perak,
Rajungan, Teri hingga Kijing Ijo.[2]
A. Masyarakat
Nelayan
Masyarakat
nelayan merupakan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir.[3]
Namun hal yang perlu diketahui bahwa tidak semua masyarakat yang tinggal di
wilayah pesisir atau pantai semuanya bekerja sebagai nelayan, ada juga yang
bekerja sebagai buruh pabrik dan pedagang. Nelayan merupakan masyarakat yang
melakukan aktifitas yang mencakup ekonomi dan sosial tidak jau dengan sumber
daya yang ada di wilayah laut atupun pantai. Oleh karena itu masyarakat nelayan
memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap sumber daya dan potensi
alam yang ada di lautan lepas.
Ciri
Khas Masyarakat Nelayan
Laut
memiliki sumber daya yang sangat beragam dan melimpah ruah, di dalamnya tedapat
ekosistem yang khas dan tumbuh dengan alaminya. Ditinjau dari aspek
kepemilikan, wilayah pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di
dalamnya bersifat terbuka (open access).
Dengan karakteristik yang terbuka tersebut, kepemilikan tidak diatur, setiap orang
bebas memanfaatkan. Hal tersebut berdampak dalam pembangunan wilayah dan
pemanfaatan sumber daya yang sering menimbulkan konflik kepentingan. Setiap
individu berusaha untuk memanfaatkan ruang dan sumber daya yang ada di lautan
lepas. Masalah lain yang dengan sistem open
access yaitu terjadinya degradasi lingkungan karena terbatasnya pengaturan
pengelolaan sumber daya.
B. Masyarakat
Tambak Lorok
Salah
satu perkampungan nelayan yang ada di wilayah Semarang yaitu di desa Tambak
Lorok atau juga sering disebut Tambakrejo. Desa Tambak Lorok terletak di
kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara. Secara administratif wilayah
Tambak Lorok mencakup satu Rukun Warga (RW) yaitu RW 16 yang terdiri dari 5 RT
(Rukun Tetangga).
Kondisi
disekitar perkampungan desa Tambak Lorok relatif kurang bersih karena terdapat
limbah bekas udang, ikan maupun kijing
ijo. Kucing liar dan hewan ternak seperti ayam bebas berkeliaran di jalanan
dengan jumlah yang tergolong banyak. Di area perbatasan daratan dan perairan
ada genangan air yang didalamnya banyak sampah. Mulai dari sampah kegiatan
rumah tangga masyarakat sampai sampah kayu-kayu bekas reparasi perahu,
sampah-sampah ini menghasilkan bau yang tak sedap dan tentunya tidak enak dipandang
mata.
Air
laut di sekitar kawasan desa Tambak Lorok tercemar dan mulai keruh sebagai
akibat dari perahu-perahu bermesin berbahan bakar solar. Jalan yang digunakan
sebagai akses desa Tambak Lorok gersang dan banyak angin sehingga debu
bertebaran. Adanya pasar yang digunakan untuk menjual kebutuhan pokok sekaligus
hasil tangkapan masyarakat menyumbangkan ketidaknyamanan berupa bau yang kurang
sedap.
Letaknya
yang berada di bibir pantai membuat desa Tambak Lorok seringkali diterjang air
rob dan menghasilkan banjir. Setiap beberapa periode sekali jalan-jalan di area
Tambak Lorok ditinggikan untuk mengantisipasi banjir rob (Sari, 2020, hal. 345). Masyarakat yang
memiliki cukup dana turut meninggikan pondasi rumah, sedangkan masyarakat yang
tidak ingin repot dan tidak memiliki pendapatan berlebih memilih untuk
membiarkannya saja. Itulah mengapa seringkali ada beberapa rumah yang
pondasinya lebih rendah dibandingkan jalan akses di Tambak Lorok.
Demografi,
Sosial dan Budaya Masyarakat Tambak Lorok
Pada
tahun 2010, jumlah penduduk desa Tambak Lorok tepatnya di RW 16 sebanyak 669
orang, yang terdiri dari 223 KK (Kepala Keluarga). Sekitar lebih dari 80% warga
Tambak Lorok bermata pencaharian sebagai nelayan, ada juga yang berprofesi sebagai
buruh, wiraswasta. Namun ada juga yang masih belum mendapatkan pekerjaan atau
masih menganggur (Pitt, 2027, hal. 355).
Kondisi
masyarakat Tambak Lorok dalam bidang ekonomi tergolong menengah ke bawah. Mata
pencaharian sebagaian besar penduduk adalah sebagai nelayan, namun ada beberapa
penduduk yang bekerja sebagai buruh pabrik, pedagang, dan ada juga buruh pengupas
kijing (kerang hijau). Buruh pengupas kijing biasanya dilakukan oleh ibu-ibu (Sari, 2020, hal. 22). Penghasilan sebagai
nelayan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, “Penghasilan nelayan
hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak ada sisa, hanya pas untuk
makan saja mba.” Kata Bu Ngatmi yang suaminya bekerja sebagai nelayan. Disamping
itu pada musim tertentu saat cuaca buruk nelayan tidak berani melaut sehingga
tidak ada penghasilan sama sekali namun ada juga beberapa yang beralih profesi
menjadi pencari kerang hijau. Bambu-bambu yang ditanam di area pinggir laut
digunakan nelayan untuk membudidayakan kerang ijo.
Seperti
pada masyarakat nelayan didaerah-daerah lain, pendidikan pada masyarakat desa
Tambak Lorok masuk dalam kategori menengah kebawah. Sebagian besar masyarakat
hanya mengenyam bangku pendidikan sampai sekolah dasar ataupun sekolah menengah
pertama. Hal ini dikarenakan kondisi sosial ekonomi masyarakat desa Tambak
Lorok yang tergolong menegah kebawah, bahkan banyak diantaranya yang tidak mengenyam bangku
sekolah. Bu
Narti (salah satu narasumber)
mengeluhkan besarnya biaya pendidikan yang harus ditanggung ketiga
puteranya.
Kesadaran
terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan juga masih kurang. Hal ini dapat
terlihat dari jalan-jalan di sekitar kampung yang kurang bersih, serta pasar
yang tidak tertata rapi. Masyarakat juga banyak yang membuang limbah ataupun
sampah ke genangan air yang menuju ke laut, bahkan ada juga yang membuang
limbah kijing ijo di sekitar
pekarangan rumah mereka. Perpaduan limbah tersebut ditambah dengan bau udang
ebi dan hasil laut lainnya tentu menghasilkan bau yang tak sedap dan tak
nyaman.
Para
nelayan desa Tambak Lorok biasanya pergi melaut pada pagi hari sekitar pukul
06.00 sampai dengan pukul 12.00, namun jika melaut pada malam hari nelayan
Tambak Lorok pulang pada pagi hari. Sementara para suami pergi melaut, para
istri dirumah mengasuh anak ataupun cucu mereka. Para istri juga membantu para
suami sebagai pengupas kijing ijo,
baik kijing ijo mirip sendiri maupun
milik orang lain agar mendapatkan upah. Ada juga yang berjualan es, gorengan
dan jajanan-jajanan (warungan) di depan rumah sebagai penghasilan tambahan.
Udara yang cukup panas dan di pinggir laut membuat berbagai rasa es laku keras.
Masyarakat
nelayan desa Tambak Lorok hidup berdampingan dengan damai dan rukun, namun
dalam hal interaksi di masyarakat Tambak Lorok masih kurang intens seperti
masyarakat di pedalaman. Mayoritas masyarakat nelayan desa Tambak Lorok beragama
islam. Pada masyarakat nelayan desa ini setiap bulan juga diadakan arisan PKK
yang laksanakan dua minggu sekali. Terdapat pula perkumpulan-perkumpulan warga
nelayan hingga program pos pelayanan terpadu (posyandu).
Program
Desa Binaan Tambak Lorok
Corporate
Social Responsibility PT Pertamina (Persero) dan Universitas Negeri Semarang
(Unnes) bekerjasama untuk meluncurkan desa binaan. Salah satu dari beberapa
desa binaan yaitu desa Tambak Lorok yang merupakan desa pesisir di Jawa Tengah.
Program desa binaan Tambak Lorok diprogramkan selama empat tahun, dan sudah
dimulai sejak bulan November tahun 2010 silam. Program-program yang telah dilaksanakan
meliputi bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, lingkungan, dan infrastruktur
dengan harapan dapat dijadikan bahan pembelajaran dan selanjutnya dapat
diimplementasikan di daerah asal masing-masing.
Hasilnya,
program desa binaan di Tambak Lorok dinilai cukup berhasil. Pak Harsono warga
Tambak Lorok mengatakan bahwa, “Sebelum ada program desa binaan desa ini tidak
memiliki gedung PAUD, tapi sekarang sudah punya. Tidak hanya itu, produksi
pembuatan ebi dan terasi juga meningkat.” Selain itu antusiasme masyarakat
dalam mengikuti kegiatan juga cukup besar. Misalnya dalam membangun jalan
masyarakat melakukan secara gotong-royong tanpa bayaran dan bahkan ada yang
iuran makanan dan sebagainya.
Posting Komentar