Adaptasi Masyarakat Objek Wisata Batu Seribu (ANTROPOLOGI EKOLOGI)

Di Kabupaten Sukoharjo ada keindahan alam yang dikembangkan menjadi wisata alam oleh pemerintah daerah. Dahulu keindahan alam ini tak terawat dan tak ada yang merawat dan dibiarkan begitu saja oleh masyarakat. Namun akhir-akhir ini keindahan alam yang terletak di dukuh Baseng, Desa Gentan tersebut dilirik oleh pemerintah daerah untuk dikembangkan menjadi desa wisata. Masyarakat Baseng yang daerahnya dikembangkan menjadi objek wisata mau tak mau harus beradaptasi dengan keadaan barunya. Jika dulu mereka menikmati keindahan alam untuk masyarakatnya sendiri, sekarang mereka mendapatkan kunjungan dari wisatawan berbagai daerah. Adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan hidup. Salah satu dari syarat tersebut adalah syarat sosial dimana manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keteraturan untuk tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaan (Suparlan. 1993: 2). Dukuh Baseng adalah sebuah dukuh yang terletak di Desa Gentan, Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo. Sekitar delapan bulan ini, dukuh tersebut sedang digalakkan pemerintah daerah sebagai daerah wisata. Tempat ini sangat cocok dijadikan sebagai daerah wisata karena selain pemandangannya yang indah, terdapat pula peninggalan-peninggalan sejarah yang mengandung unsur religi dan budaya. Kawasan obyek wisata di Baseng memiliki potensi alam dan potensi wisata yang beragam. Obyek wisata tersebut antara lain: Kolam Renang Pacinan, Sendang Ki Truno Lele, Selfie Gunung Sepikul, bumi perkemahan, taman bermain. Berbagai macam objek wisata yang ada di Baseng tersebut oleh wisatawan domestik lebih akrab disebut Kawasan Wisata Objek Batu Seribu karena di tempat wisata tersebut memang ditemukan banyak sekali bebatuan yang sangat banyak. Untuk berpindah dari satu tempat wisata ke tempat lainnya tidak terlalu jauh hanya berjarak sekitar 500 meter, namun harus melewati jalan beraspal sempit yang curam karena objek wisata berada di tempat ketiggian. Berbagai macam kegiatan dilakukan oleh masyarakat dukuh baseng untuk menghadapi daerahnya yang kini menjadi daerah wisata. Kegiatan adaptasi yang paling menonjol tersebut yaitu biasanya para pemuda yang menjaga parkir. Jika dahulu sebelum daerah wisata dikembangkan, sepulang sekolah biasanya para pemuda di dukuh Baseng menghabisakan waktunya untuk bermain, maka sekarang bermain banyak dilakukan di daerah tempat wisata bersama teman-temannya sekaligus menjaga parkir. Tarif parkir adalah Rp. 2000 untuk setiap tempat wisata. Hasil parkir yang di dapatkan kemudian digunakan untuk mengisi kas desa. Selanjutnya bagi pria dewasa yang berkisar usia 22 tahun sampai 45 tahun menawarkan ojek di pintu masuk objek wisata Baseng. Terbatasnya akses untuk memasuki kawasan wisata tersebut karena jalanan curam dan sempit sehingga tidak ada kendaraan umum yang diperkenankan naik dan memasuki kawasan tersebut. Kendaraan yang dapat mengakses wisata hanya terbatas untuk sepeda motor, sedangkan mobil pribadi dapat mengakses namun di kawasan tertentu seperti selfie Gunung Sepikul dan sendang Lele. Untuk masuk ke kawasan kolam renang dan bumi perkemahan mobil pribadi mengalami kesusahan karena sempitnya jalan akses tadi. Di tempat-tempat kawasan Wisata Batu Seribu terlihat warung-warung yang menyediakan barbagai kebutuhan dan keperluan yang mungkin dibutuhkan oleh pembeli. Seperti pada wisata Selfie Gunung Sepikul warung-warung menyediakan minuman dingin dan snak ringan yang biasa diperlukan para wisatawan untuk bekal mendaki area wisata. Pada kawasan wisata Sendang Lele, penjual menawarkan pakan lele yang dapat digunakan para pengunjung untuk memberi makan lele-lele yang ada di sendang. Sedangkan untuk wisata kolam renang banyak penjual yang menawarkan makanan hangat seperti mi instan dan teh panas. Para penjual yang membuka lapak kebutuhan wisatawan tersebut adalah masyarakat yang tinggal di Baseng. Penjual-penjual makanan didominasi oleh ibu-ibu paruh baya. Selain adaptasi diatas, masyarakat juga melakukan adaptasi yang bentuknya kepercayaan. Selama menjadi daerah wisata ini masyarakat Baseng menyadari bahwa tempatnya sering dijadikan kawasan pacaran bagi anak-anak muda. Pacaran yang dilakukan anak muda di kawasan objek wisata tergolong “kelewat batas”. Oleh karena itu masyarakat Baseng melakukan bersih desa (rasulan) yang rutin dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Tujuan dari bersih desa ini adalah sebagai perwujudan terimakasih kita terhadap karunia alam yang diberikan Tuhan sehingga masyarakat mampu mendapatkan hasil yang melimpah dari karunia tersebut. Selain itu bersih desa ini juga ditujukkan untuk membuang segala bentuk kesialan yang ada di desa, termasuk salah satunya adalah kesialan yang disebabkan oleh wisatawan domestik yang berbuat “tidak senonoh” di kawasan wisata Baseng. DAFTAR PUSTAKA Suparlan, Parsudi. 1993. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor

Posting Komentar