PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan
negara dengan sejuta keanekaragaman yang menjunjung tinggi multikulturalisme
dan tidak mengenal perbedaan hak dan kewajiban antara kelompok minoritas maupun
mayoritas. Keanekaragaman tersebut terdiri dari berbagai bahasa, suku bangsa,
agama, ras, budaya dan sebagainya.
Multikultural tersebar
diberbagai wilayah di Indonesia salah satunya di kota Semarang. Kota yang
merupakan ibukota Jawa Tengah tersebut merupakan tempat pertemuan dan
percampuran berbagai macam kebudayaan dari berbagai daerah karena banyaknya
imigran.
Dengan adanya
keberagaman tersebut menyebabkan kota Semarang sarat akan konflik. Seperti
contoh isu konflik seputar agama dan kepercayaan yang terjadi di Sumowono,
Kabupaten Semarang pada tahun 2008. Maka
dari itu diperlukan integrasi yang kuat seperti yang telah tertanam kuat di
wilayah Kauman dan Pecinan.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
sajakah multikultural yang ada di Kota Lama, Semarang?
2. Bagaimana
bentuk integrasi yang ada di Kota Lama (Kauman dan Pecinan) ?
3. Bagaimana
tanggapan masyarakat Kauman dan Pecinan terhadap perbedaan ?
PEMBAHASAN
Semarang merupakan kota
dengan berbagai keberagaman. Keberagaman yang ada di Semarang contohnya seperti
agama, suku bangsa, budaya, dan ras. Penduduk Semarang sendiri pada umumnya
berasal dari suku Jawa dengan mayoritas agama Islam. Meskipun demikian ada
agama lain selain Islam yaitu Katolik, Hindu, Budha, Kristen dan Konghucu.
Tujuan utama dari
observasi kami adalah untuk mengetahui berbagai keberagaman yang ada di kota
Semarang beserta fenomena yang ada di dalamnya yang meliputi konflik maupun
integrasi. Untuk mengetahui hal tersebut kami melakukan penelitian di sebagian
wilayah Semarang. Tempat yang kami jadikan sampel observasi adalah Kauman dan
Pecinan.
a. Kauman
Kauman merupakan salah
satu kelurahan yang ada di Kecamatan Semarang Tengah, letaknya dekat dengan pasar
Johar, Semarang disana terdapat sebuah masjid yang digunakan selain sebagai
tempat ibadah juga sebagai tempat penyelenggaraan acara-acara keagamaan seperti
Maulud, Idul Adha, Idul Fitri dan lain-lain.
Observasi pertama dilakukan
di kelurahan Kauman RT 01/RW 01 dengan narasumber ketua RT Bapak Sutrisno. Di
RT 01/ RW 01 semua penduduknya beragama Islam yang mana terdapat sekitar 60
kepala keluarga. Mayoritas masyarakat yang ada di kelurahan Kauman beragama Islam,
tetapi ada beberapa warga yang beragama non muslim yang merupakan seorang pendatang.
Karena tidak adanya keberagaman agama yang ada di Kauman maka hampir tidak ada
konflik di dalamnya, sehingga mereka hidup berdampingan dengan damai.
Mayoritas warga Kauman
bekerja sebagai wiraswasta dan ada beberapa warga yang menjadi PNS (Pegawai
Negeri Sipil). Meskipun dengan berbagai kesibukannya, interaksi diantara
masyarakat terjalin dengan baik. Hal ini dapat dilihat dengan adanya organisasi
maupun kegiatan yang ada di masyarakat yaitu PKK, kepanitian saat ada
acara-acara keagamaan dan kerja bakti.
Dalam kegiatan kerja
bakti biasanya dilakukan pada hari libur dan dilakukan ketika lingkungan nampak
kotor. Bagi warga yang tidak mengikuti kegiatan kerja bakti karena alasan
pekerjaan maupun alasan tertentu tidak mendapat sanksi tetapi warga tersebut
biasanya akan memberikan suguhan berupa makanan, minuman, maupun uang sebagai
pengganti ketidakhadirannya dalam kegiatan kerja bakti atas kesadaran pribadi
tanpa adanya paksaan maupun perintah dari orang lain.
b. Pecinan
Saat melangkahkan kaki
di Kampung Cina yang terletak di Semarang, kami berkeliling sejenak dan
mengunjungi beberapa lapak dari salah seorang pedagang yang ada. Saat itu jam
menunjukkan pukul 18.30 WIB. Suasana disana tampak ramai karena saat itu hari
Jumat malam Sabtu. Menurut pernyataan dari penjual Wedang Tahu yang kami
datangi, setiap hari Jumat, Sabtu dan Minggu adalah hari-hari ramai.
Tampak orang-orang yang
berkulit putih dan bermata sipit mendominasi di sepanjang lapak penjual namun tidak
hanya orang-orang etnis Tionghoa yang ada disana tetapi juga terdapat etnis
lain seperti Jawa. Para pedagang yang ada di Pecinan tidak hanya orang Tionghoa
melainkan orang-orang berkulit sawo matang. Pengunjungnya pun juga beranekaragam
etnis dan agama. Kesimpulannya terdapat solidaritas mekanik antar masyarakat
yang ada di Pecinan.
Pada saat kami
mewawancarai salah satu pedagang yang menjual obat herbal yang dipercayai bisa
menyembuhkan capek, bengkak, lebam, dan lain-lain tersebut menggunakan resep
warisan leluhur yang berasal dari leluhur mereka yang diwariskan secara
turun-temurun. Jadi mereka masih melestarikan kebudayaan dari keluarga mereka.
Selain pedagang yang
kami wawancarai kami juga mewawancarai masyarakat, pengunjung, serta ketua RT
yang ada di Pecinan. “Masyarakat Tionghoa kurang berkenan bila mereka di
panggil dengan sebutan Cina, mereka lebih senang jika di panggil dengan sebutan
etnis Tionghoa.” Kata Pak Halim atau Chia Hok Lim yang merupakan ketua RT di
Kampung Cina. Pak Halim menambahkan bahwa pendapat orang di luar etnis Tionghoa yang memandang bahwa
etnis Tionghoa itu individual, keras kepala, ulet dalam pekerjaan, suka marah, padahal
menurut beliau itu semua tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di masyarakat Tionghoa. Dalam etnis Tionghoa
juga terdapat orang-orang yang memiliki jiwa sosial yang tinggi, baik hati, dan
kurang giat dalam bekerja.
Di Kampung Cina,
Semarang terdapat sekitar 20 kepala keluarga dengan berbagai agama seperti
Konghucu, Budha, Katolik, Kristen bahkan Islam. Rumah-rumah warga banyak yang
kosong karena sebagian besar warga memiliki tempat tinggal di wilayah lain.
Bentuk rumah di Pecinan terlihat klasik dan kurang terawat karena kurang adanya
dukungan dana untuk renovasi. Selain terdapat rumah-rumah yang jaraknya
berdekatan, disana juga terdapat tempat ibadah terdekat yaitu Klenteng.
Sedangkan untuk tempat ibadah lain seperti masjid dan gereja juga ada tetapi
jaraknya lumayan jauh.
Keseharian masyarakat
etnis Tionghoa di pagi hari mereka biasanya berbelanja ke pasar yang terletak
di dekat desa Kauman karena mayoritas penduduk bermatapencaharian sebagai
pedagang makanan dan pedagang kain. Tidak ada yang bekerja sebagai Pegawai
Negeri Sipil. Menurut pak Hok Lim, di kampungnya juga diadakan kerja bakti
ditengah kesibukan masyarakatnya. Antara masyarakat Pecinan dengan masyarakat
desa lain juga saling membaur.
Masyarakat etnis
Tionghoa sangat menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi toleransi. Hal ini
terlihat ketika kami mewawancarai Pak Hok Lim yang notabene beragama Budha
namun dapat mengucapkan “Alhamdulillah” serta mengetahui beberapa surat dalam
Kitab suci Al Qur’an. Beliau juga mempelajari Al Qur’an dan Al Kitab karena
teman-teman beliau salah satunya adalah seorang kiai dan pendeta. Hasil dari toleransi
yang dijaga dengan baik mereka mampu hidup berdampingan tanpa adanya konflik
meskipun berada di lingkungan yang terdiri dari beragam kepercayaan
Etnis
Tionghoa telah menyatu dengan bangsa Indonesia, begitu yang dinyatakan Pak RT
kampung Pecinan. Asumsi tersebut didasari oleh penggunaan bahasa yang kita
gunakan dalam kehidupan sehari-hari merupakan peleburan dari bahasa Mandarin seperti
pada kata “gopek, goceng, lo dan gue”.
PENUTUP
Kesimpulan
Kota
Semarang merupakan kota yang terdiri dari berbagai sub kebudayaan. Karena
perbedaaan yang ada, maka di kota tersebut sering terjadi konflik salah satunya
adalah konflik antar pemeluk agama.
Seiring
berkembangnya kesadaran tentang pentingnya persatuan dan semangat menghargai
multikultural maka sikap toleransi terhadap perbedaan mulai dijaga oleh
masyarakat, khususnya kota Semarang. Hal ini terbukti dalam kajian lapangan
kami yang mengambil sampel di Kauman dan Kampung Cina (Pecinan). Disana
masyarakat saling menghargai satu sama lain. Baik penduduk Kauman maupun
Pecinan saling menghargai sehingga terciptanya integrasi.
Saran
Untuk menghindari
konflik-konflik yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat yang dikarenakan
perbedaan warna kulit, kepercayaan dan kebudayaan maka hendaknya kita
menghargai keanekaragaman tersebut. Sudah sewajarnya sebagai manusia yang hidup
berdampingan saling toleransi dan saling menjaga integrasi.
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan,
dalam penulisan ini tentunya penulis banyak melakukan kesalahan baik pengunaaan
tanda baca maupun pemilihan kata yang tidak sesuai maka untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sutrisno.
51 Tahun. Ketua RT 01/ RW 01 Kauman.
Aminah.
43 Tahun. Penjaga Lapak di Pecinan.
Halim
Suryono ( Chia Hok Lim). 68 Tahun. Ketua RT Kampung Cina.
LAMPIRAN
foto
ketika di Rumah Ketua RT 01/RW01 Kauman, Semarang
Foto
ketika Shalat di Masjid Agung Kauman, Semarang sekaligus observasi
Foto
bersama Pak Chia Hok Lim/ Ketua RT Kampung Cina dan Foto rumah Pak Chia Hok
Lim.
Posting Komentar