SUSAHNYA AKSES KE SEKOLAH (ANTROPOLOGI PENDIDIKAN)

SUSAHNYA AKSES KE SEKOLAH Oleh: Ayu Ratna Sari Pendidikan sangat penting bagi kita yang telah menghadapi globaslisasi. Apalagi sekarang ini telah dibukanya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang menyebabkan kita harus mampu bersaing dengan dunia luar. Untuk itu sistem pendidikan Indonesia harus dibenahi dan harus lebih ditingkatkan lagi. Mulyasa (2006:23) mengungkapkan bahwa salah satu kelemahan sistem pendidikan nasional yang dikembangkan di tanah air adalah kurangnya perhatian pada output. Standarisasi kurikulum, buku, alat, pelatihan guru, sarana dan fasilitas sekolah merupakan wujud kendali pemerintah terhadap input dan proses yang harus berlangsung di dalam sistem. Sekolah-sekolah yang berada di pusat pemerintahan memang telah maju dan dapat diakses oleh seluruh siswa, namun bagaimana dengan siswa-siswa yang berada di daerah yang luput dari pantauan? Sementara itu dikalangan masyarakat permasalahannya lain lagi. Masyarakat menilai sekolah satu dengan sekolah yang lainnya memiliki perbedaan kualitas kendati sekolah tersebut pada jenjang yang sama serta sama-sama berstatus negeri, khususnya pada jenjang SLTA. Untuk itu masyarakat menggolongkan sekolah ke dalam kelompok sekolah favorit dan sekolah yang tidak favorit. Tentu saja sekolah favorit selalu diserbu oleh siswa-siswa yang berasal dari berbagai daerah. Hal ini tentunya menyebabkan ketimpangan sosial antar sekolah. Ada kategorisasi tertentu siswa yang dapat sekolah di SLTA favorit. Siswa yang pandai tidak melulu dapat masuk di sekolah favorit dan yang kurang pandai masuk di sekolah non favorit. Sekolah yang ada di salah satu daerah terpencil di kabupaten sukoharjo kiranya dapat menggambarkan permasalahan-permasalahan diatas. Sepenggal kisah berikut ini diharapkan mampu mewakili suara sekolah-sekolah yang berada jauh dari pusat kota. Adoh Ratu Cedhak Watu Saya akan menceritakan kisah perjalanan saya dalam menimba ilmu di dunia pendidikan. Tujuan tulisan ini diharapkan dapat sedikit membantu menggambarkan keadaan siswa-siswa yang ada di daerah “adoh ratu cedhak watu”, yang kurang mendapat “jamahan” dari pemerintah. Saya tinggal di Desa Kunden, Kecamatan Bulu yang bertempat di Kabupaten Sukoharjo, Kota Solo, Jawa Tengah. Daerah tersebut terletak di ujung selatan Sukoharjo, dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Wonogiri. Dari kota Solo sendiri dapat ditempuh perjalanan sekitar 75 menit dengan kendaraan pribadi. Jadi cukup benar jika daerah saya merupakan daerah yang jauh dari pemerintahan dan dekat dengan pegunungan. Semenjak saya hidup di daerah tempat tinggal saya ini, sekolah-sekolah mengalami perubahan yang sangat dinamis. Dahulu sewaktu saya masih berusia enam tahun di bangunlah Sekolah Menengah Atas (SMA) satu-satunya di kecamatan, sedangkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah ada dua yang berstatus negeri dan satu yang berstatus swasta. Untuk Sekolah Dasar (SD) rata-rata setiap keluarahan memiliki tiga sekolahan yang semuanya berstatus negeri. Saat itu belum ada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan Tanaman Kanak-Kanak hanya ada satu sekolah di kecamatan. Namun akhir-akhir ini sekolah-sekolah yang ada di Kecamatan Bulu sudah mulai berkembang, meskipun dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai permasalahan yang dialami masyarakat di dalam dunia pendidikan. Pengalaman Sekolah Roboh Saya dan siswa-siswa pada umumnya mulai menginjak sekolah pada usia ke enam. Tidak sempat mencicipi pendidikan usia dini ataupun taman kanak-kanak karena jenjang pendidikan tersebut menurut masyarakat hanya diajari main-main dan nyanyi-nyanyi, sehingga masyarakat menganggapnya tidak penting. “Anak Saya tidak Saya sekolahkan di TK, langsung SD saja, Yu” Kata Bu Rahayu saat sedang berbelanja sayuran di warung Bu Sumini. “Iya, Ayuk juga tidak saya sekolahkan TK. TK juga tidak diajari cara membaca katanya.” Kata Ibu Sumini yang merupakan Ibu Saya. Begitulah kita-kira percakapan perdebatan ketika saya baru awal masuk sekolah dasar di SDN Negeri Kunden 3. Untungnya, selama menimba ilmu di sekolah dasar saya dapat mengikuti pembelajaran, sehingga di kelas satu SD saya sudah mampu membaca. Saat ini saya ingat betul karena murid di SD tersebut hanya tujuh orang yang menduduki kelas satu SD. Saya ingat ketika guru memarahi keempat teman saya karena tidak bisa mengeja kata, saya dan kedua teman saya selalu aman luput dari “kegemesan” guru terhadap muridnya. Dari hal tersebut dapat saya simpulkan bahwasanya pendidikan sebelum siswa menginjakkan kaki di dunia sekolah formal memang sangat penting adanya. Sebab tidak semestinya semua beban diberikan kepada guru sekolah dasar untuk mengajari anak dari tingkat nol. Menurut Soemiarti (dalam Kolin 2012) bahwa Taman Kanak-Kanak merupakan salah satu bentuk pendidikan anak usia dini yang menyediakan berbagai program belajar melalui bermain untuk membantu anak mencapai pertumbuhan dan perkembangan diri yang optimal. Soemiarti menambahkan bahwa hal ini sesuai dengan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0486/U/1992 Bab 1 Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, Pendidikan Taman Kanak-kanak merupakan wadah untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik sesuai dengan sifat-sifat alami anak. Jadi disini peran Taman Kanak-kanak sangat diperlukan agar siswa siap secara mental menghadapi tingkat sekolah dasar. Sewaktu istirahat guru-guru melarang kami bermain di dekat tembok sekolah karena tembok sekolah kami merupakan bangunan yang sudah sangat tua, dindingnya mengalami keretakan-keretakan. Pernah suatu ketika diruang kelas kami yang saat itu kelas dua SD, bongkahan tembok mengelupas dan jatuh ke lantai ubin saat kegiatan belajar mengajar. Hal ini mengakibatkan hebohnya seluruh isi kelas. Bu Guru lalu bertindak cepat untuk mengarahkan kami keluar kelas. Setelah semuanya sudah tenang dan bongkahan bangunan sudah dibersihkan, kami melanjutkan pelajaran seperti biasa tentu saja guru-guru pasti sangat cemas waktu itu. Sekolah yang tua tak mampu bertahan lagi setelah guncangan gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006 silam. SD Negeri Kunden 3 resmi tidak bisa digunakan lagi dan sekolah resmi ditutup. Siswa-siswa berpindah ke SD Negeri Kunden 2 atau SD Negeri Puron 1, begitu pula dengan guru-guru yang mengajar. SD yang direkomendasikan tersebut jaraknya tergolong jauh dari SD Kunden 03, yaitu sekitar dua kilo meter. Saat itu siswa-siswa yang tidak memiliki sepeda harus kesusahan untuk berangkat ke sekolah karena jarak sekolah yang tidak dekat. Orstein (dalam Nuraihan, dkk. 2015) The provision of public facilities must be planned based equally distributed, accessible, safe, provide interaction and must be properlydesigned. All these school facilities must be adequately provided for and managed. The principles areapplicable in the school planning as school is one of the components of public facilities. Normally, the development of school process starts with identifying the location of public schools and selecting the suitable land for building a new school or expanding the existing school. Bahwa pentingnya sarana prasarana untuk fasilitas umum, dan dalam hal ini adalah sekolahan harus dipikirkan secara matang perencanaannya. Fasilitas tersebut hendaknya diberikan secara merata, dapat diakses oleh siapa saja serta memberikan rasa aman. Oleh karena itu pengadaan fasilitas umum, terutama sekolah harus dipikirkan dahulu berbagai kemungkinan yang ada agar kegiatan belajar-mengajar diharapkan berjalan lancar dan tidak menimbulkan keresahan di masyarakat. Penduduk akan terus membengkak dan arah pembangunan perlu ditujukan untuk memenuhi desakan kebutuhan penduduk usia tersebut. Pembangunan sarana pendidikan serta pembangunan jangka panjang, seperti gedung sekolah penyediaan guru, dan fasilitas pendidikan lainnya merupakan hal yang mendesak yang perlu ditanggulangi (Munib, dkk. 2016: 125). Sekolah Favorit dan Sekolah Bukan Favorit Menurut Jabar (2014) bahwa sekolah unggul dipersepsikan sebagai sekolah yang mampu menghasilkan otuput maksimal dari input yang minimal. Keunggulan sekolah mencakup input, proses, dan output. Keunggulan merupakan hasil kerja sama dari semua pihak dalam mewujudkannya. Waktu itu permasalahan klasik yang dialami orang tua yang memiliki anak yang akan menginjak SMP adalah ketika anak mereka yang tidak diterima di SMP N 1 Bulu. Mereka harus menyekolahkan anaknya di sekolah swasta karena SMP N 2 Bulu hampir tidak mungkin dijangkau karena jaraknya sangat jauh. Tentu saja jika mereka menyekolahkan anaknya di sekolah swasta para orangtua harus merogoh kocek lebih dalam lagi, selain itu sekolah swasta di Bulu mendapatkan stereotype yang kurang baik di kalangan masyarakat karena anak-anak mereka cenderung akan terjerumus ke dalam masa remaja yang negatif jika sekolah di sekolah swasta tersebut. Namun sejak tahun 2006 smp swasta diganti dengan SMP Negeri 3 Bulu. Ini menjawab keresahan masyarakat mengenai biaya. Ironisnya tidak berubah mengenai pandangan masyarakat yang sebisa mungkin menjauhi SMP tersebut dan menyekolahkan anaknya di SMP yang favorit dan berstandar nasional seperti di SMP N 1 Bulu. Pembedaan sekolah negeri-swasta mengakibatkan image negatif di masyarakat umum yang mengingkari kualitas sekolah swasta. Sekolah berkualitas sering diidentikkan dengan tampilan visual yang mencerahkan harapan. Fasilitas luks, seragam elit, gedung sekolah yang berpagar megah dan bertingkat merupakan simbol sekolah berkualitas. Sekolah berkualitas adalah sekolah yang mahal, sebuah persepsi yang tidak selamanya benar (Martono. 2010). Permasalahan kemelut memilih SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) di kalangan masyarakat Kunden, Bulu dan Sekitarnya kurang lebih sama dengan permasalahan terkait memilih SMP. Masih berkutat pada seputar sekolah favorit dan sekolah yang tidak favorit. Namun kali ini keresahan tidak ditekankan bukan pada para orang tua, melainkan di kalangan para siswa sendiri. Seperti pada pengalaman saya waktu itu, “Besok melanjutkan sekolah SMA dimana, Yuk?” Tanya Nanda pada saya waktu itu. Saya menjawab “Tidak tahu. Jika nilainya bagus di SMA Tawangsari mungkin. Lha Nanda sendiri gimana?” “Ahh, ya jelas di SMA Tawangsari. Malu sama teman-teman kalau tidak di SMA bagus.” Lanjut Nanda menjawab pertanyaan yang saya berikan. Saya bertanya “Ohh, berarti yang lainnya juga di SMA favorit?” “Dengar-dengar iya. Bahkan katanya Gilang mau ke SMA 1 Sukoharjo.” Jawab Nanda meyakinkan. Dari cerita-cerita yang berkembang lewat mulut-kemulut bahwa siswa yang bisa sekolah di SLTA favorit akan lebih merasa bangga dari pada siswa yang sekolah di SLTA yang kurang favorit. Meskipun demikian antara SLTA yang dianggap favorit dan SLTA yang kurang dianggap favorit sama-sama sekolah negeri yang dibiayai oleh pemerintah daerah Sukoharjo. Di Sukoharjo memang sudah diterapkan wajib belajar 12 tahun. Oleh karena itu wajar saja jika Sukoharjo menolak pengambilalihan pendidikan dibawah provinsi. Belasan ribu pelajar dan guru tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) menolak pengambilalihan kewenangan dan meminta Undang-Undang No. 23/2014 tentang Otonomi Daerah ditinjau ulang. Bahkan Bupati Sukoharjo, Wardoyo Wijaya dan pimpinan DPRD Sukoharjo turun berorasi ditengah-tengah massa yang masyoritas pelajar (Solopos). Pada dasarnya para siswa dan masyarakat memandang tingkat “kefavoritan” bukan dari sudut pandang negeri atau swasta melainkan dari kota atau tidaknya serta tingkat kesulitan sekolah tersebut untuk dimasuki. Sekolah yang berada di kota adalah sekolah yang favorit, apalagi sekolah di kota membatasi jumlah siswa yang dapat diterima. Siswa yang pandai tidak melulu masuk di sekolah favorit dan yang kurang pandai masuk di sekolah yang favorit. Beberapa alasan teman saya yang saya nilai sebagai siswa yang pandai yang tidak bersekolah di sekolah yang favorit kendati nilainya memenuhi untuk bersekolah disana karena tidak lain karena terbatasnya akses untuk menuju ke SLTA yang berada di kota. Siswa yang memiliki kendaraan pribadi (sepeda motor) dapat sekolah di SLTA favorit, sedangkan siswa yang tidak memiliki kendaraan pribadi harus merelakan mimpi untuk sekolah di SLTA favorit. Terbatasnya Akses Ke Sekolah Dari zaman saya sekolah di SLTA hingga zaman sekarang ini siswa memiliki kesulitan dalam hal akses ke sekolah. Angkutan umum sangat sulit ditemukan dan jumlahnya sangat terbatas. Angkutan umum hanya ada di saat-saat tertentu saja. Saat jam-jam siswa beragkat ke sekolah dan saat siswa pulang dari sekolah. Pernah ada suatu kejadian, sekolah di SMA saya adalah sekolah yang lumayan favorit, dan jarak dari rumah saya relatif jauh. Waktu itu saya tidak membawa kendaraan karena sedang dipakai ayah saya. Hari itu saya benar-benar ingin menangis karena berangkat sekolah diangkut oleh bus umum yang penuh dan harus berdesak-desakan di pintu bus. Jangan bayangkan bus yang ada di tempat saya bus seperti yang sering kita lihat di kota-kota. Bus yang ada di daerah saya bus colt atau mini bus. Kesusahan saya waktu itu tidak hanya berhenti disitu. Pulang sekolah pada pulul 13.30 tepat, namun saya tidak langsung pulang karena harus piket terlebih dulu. Kendati sudah piket dengan tergesa-gesa, bus yang biasa mengangkut sudah pergi. Dan saya menunggu untuk waktu yang sangat lama. Saya hampir menangis. Untungnya tetangga saya ada yang belum pulang karena sedang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Alhasil, saya pulang sangat sore karena menunggu hingga tetangga saya tersebut selesai mengikuti ekstrakulikuler. Dari cerita tadi mungkin dapat sedikit menggambarkan bahwa susahnya jika siswa yang tidak memiliki kendaraan pribadi dan ia harus pergi ke sekolah yang berada di kota. Sekarangpun tidak jauh berbeda, bahkan lebih mengenaskan lagi. Dari penuturan Nicho (16) tahun “Sekarang bus sudah jarang, Mbak. Paling dua kali sehari lewatnya.” Oleh karena itu secara tidak langsung terbatasnya akses untuk menuju sekolah yang dianggap favorit menghalangi daya saing siswa. Siswa yang tidak memiliki akses yang baik memiliki peluang rendah, atau bahkan sama sekali tidak memiliki peluang daripada siswa dengan daya akses yang tercukupi. Daya akses tercukupi yang dimaksud bukan hanya siswa yang memiliki kedaraan pribadi saja, melainkan siswa yang tinggal dekat dengan pusat kota. Sehingga ia mudah untuk mencapai lokasi sekolah favorit tersebut. Mobilitas atau akses menjadi persoalan yang sangat penting. Ritzer (2012: 983-984) para pecundang tidak hanya tanpa mobilitas, tetapi juga disingkirkan dan dibatasi pada wilayah-wilayah yang dilucuti dari makna dan bahkan kemampuan untuk menawarkan makna. Dengan demikian, jika yang elite mungkin dimabukkan oleh kesempatan mobilitas mereka, yang lain sangat mungkin merasa terpenjara dalam wilayah rumah mereka, tempat mereka tidak memiliki banyak peluang untuk bergerak. Kira-kira penjelasan Ritzer diatas sangat tepat untuk menjelaskan bahwa keadaan masyarakat kota memang sangat mudah. Mereka bebas mengakses fasilitas, termasuk fasilitas sekolah. Sedangkan masyarakat yang berada di desa harus terkurung dalam wilayah mereka karena keterbatasan akses dan mobilitas. Kesimpulan Di daerah yang jauh dari kota, kemudahan mengakses pendidikan masih menjadi barang yang mahal untuk di dapat. Kurangnya fasilitas dan sarana prasarana menjadi alasan utama mengapa hal yang demikian dapat terjadi. Masyarakat kota terus berkembang dalam bidang pendidikannya, sehingga siap bersaing dengan arus globalisasi yang semakin kencang bak paket internet 4G. Berbanding dengan masyarakat yang kurang mendapatkan perhatian dimana mengalami serba keterbatasan. Mulai dari keterbatasan akses hingga keterbatasan sarana dan prasarana. Anggapan masyarakat mengenai sekolah yang favorit dengan sekolah yang kurang favorit berdasarkan pembahasan diatas menurut saya, muncul karena deskriminasi penyediaan fasilitas. Sekolah favorit berada di kota dengan segala fasilitas yang tercukupi. Sedangkan masyarakat desa memiliki berbagai keterbatasan untuk mengakses fasilitas pendidikan ke kota yang dinilai lebih maju. DAFTAR PUSTAKA Buku Mulyasa. 20016. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Munib, Akhmad, dkk. 2016. Pengantar Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Semarang: UNNES Press Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmoder. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Jurnal Jabar, Cepi Safruddin Abd. 2014. Pencapaian Keunggulan Pada SMA Negeri dan Swasta Berkategori Unggul di Kota Bandung. Jurnal. ISSN 1412-565X. (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132243758/Pencapaian%20keunggulan_jurnalpenelitianUPI_0.pdf) diakses pada 31 Oktober 2016 pukul 1:10 Kolin, Yosefina Hingi. 2012. Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Penggunaan Media Gambar Pada Anak Kelompok A TK Indriyasana Baciro Yogyakarta. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta. (http://eprints.uny.ac.id/8988/2/bab%201%20-%2009111247039.pdf) diakses pada 28 Oktober 2016 pukul 22:38 WIB. Martono, Nanang. 2010. Kritik Sosial Terhadap Praktik Pendidikan dalam Flm “Laskar Pelangi”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Volume 3, Nomor 16 (http://nanang-martono.blog.unsoed.ac.id/files/2010/08/Laskar_Pelangi.pdf) diakses pada 31 Oktober 2016 pukul 0:49 WIB. Nuraihan, Mohd Ibrahim et al. 2015. Assessment on the Condition of School Facilities: Case study of the selected public schools in Gombak district. International Journal. ASLI QoL2015, Annual Serial Landmark International Conferences on Quality of Life (http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1877042816302257) diakses pada 31 Oktober 2010 pukul 0:15 Surat Kabar Suryono, Trianto Hery. 2016. Didukung Bupati dan Pimwan, Ini Isi Tuntutan Demonstran. SOLOPOS, 28 Maret 2016. Biodata Penulis Ayu Ratna Sari NIM. 3401414068 Mahasiswa Jurusan Sosiologi & Antropologi – Fakultas Ilmu Sosial – Universitas Negeri Semarang Organisasi: Fungsionaris Hima SosAnt periode 2015 dan 2016, Ikemas (Ikatan Keluarga Mahasiswa Sukoharjo) e-mail: qars160913@gmail.com nomor telepon/whatsapp 085725225977 follow IG: ayuratnas96, FB Ayu Ratna Sari www.leeayuratna.blogspot.com selalu semangat download drama korea terbaru

Posting Komentar