MENEMUKAN NILAI DAN KEGUNAAN FOLKLOR “SAWERIGADING, DEWI SRI, LARANGAN INCEST DAN KEKUASAAN” STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS MITOS DAN KARYA SASTRA

MENEMUKAN NILAI DAN KEGUNAAN FOLKLOR “SAWERIGADING, DEWI SRI, LARANGAN INCEST DAN KEKUASAAN” STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS MITOS DAN KARYA SASTRA Penulis: Heddy Shri Ahimsa-Putra Umumnya cerita-cerita rakyat yang ada di wilayah nusantara memiliki kesamaan, dimana kesamaan tersebut menurut sudut pandang sejarah adalah hasil dari adanya kontak dengan kebudayaan lain. Dalam bab ke ix ini yang akan dijelaskan Ahimsa-Putra adalah bagaimana menjelaskan kesamaan cerita rakyat tersebut dengan tidak menggunakan cara berfikir sejarah, melainkan menggunakan analisis struktural yang diterapkan pada cerita yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda yaitu suku bangsa Bugis dan suku bangsa Jawa. Alasan Ahimsa-Putra memilih mitos Sawerigading dan Dewi Sri adalah suatu kebetulan saja (tidak ada maksud lain) karena kedua mitos ini dinilai sangat populer di kalangan masyarakat. Tujuan dari analisis mitos ini adalah karena kajian yang sudah ada dari kedua mitos ini tidak memiliki kerangka teori yang kuat dan tafsir yang mendalam. Secara eksplisit dijelaskan (dalam Ahimsa-Putra. 2006: 380-381) bahwa analisis struktural Levi-Strauss menjadi senjata utama Ahimsa-Putra untuk membedah isi mitos karena beberapa alasan, diantaranya: (1) paradigma struktural membantu memahami mitos dalam konteks budaya yang lebih luas, (2) mengungkapkan relasi-relasi penting antar tokoh, (3) memperhatikan fenomena pernikahan antar kelompok, pertukaran sosial, relasi-relasi kekerabatan dan sosial. Mitos Sawerigading dan Dewi Sri bergenre romantis, dimana tokoh-tokoh yang terlibat didalamnya ingin melakukan perkawinan sedarah (saudara kandung). Suku bangsa Bugis dan suku bangsa Jawa terwakili oleh mitos tersebut dalam mengungkapkan budayanya dalam menanggapi perkawinan tersebut seperti yang dijelaskan Ahimsa-Putra (2006: 386) bahwa mitos dipandang sebagai sebagai model untuk menafsirkan berbagai peristiwa dalam kehidupan sehari-hari sehingga peristiwa-peristiwa tersebut dapat dipahami dalam kerangka berfikir tertentu agar tidak menimbulkan kebingungan. Secara implisit, mitos juga digunakan sebagai alat mengatur kehidupan masyarakat agar sejalan dengan kehidupan masyarakat yang diidam-idamkan. Cukup jelas Ahimsa-Putra berpendapat bahwa mitos Sawerigading maupun mitos Dewi Sri muncul di masyarakat sebagai nilai larangan incest. Ahimsa Putra (2006: 387) “Dalam mitos Sawerigading larangan ini berupa pencegahan pernikahan saudara kembar disitu, yakni Sawerigading dengan adik kembar perempuannya , We Tenriabeng.” Dalam mitos Sawerigading secara tersirat dapat kita ambil nilai pendidikan sosial yaitu mengenai bagaimana seharusnya hidup berhubungan dengan individu lain di kehidupan bermasyarakat dalam hal ini yaitu menjauhi larangan bahwa saudara kandung tidak boleh menikah, untuk itu telah dijelaskan pada halaman 392 bahwa penolakan We Tenriabeng yang berarti pula penolakan terhadap pernikahan antar saudara kandung. Selain itu kita juga dapat melihat nilai memecahkan suatu masalah “Yakni Sawerigading disarankan untuk menikah dengan wanita lain” (2006: 392) dimana wanita tersebut kurang lebih memiliki kesamaan dengan We Tenriabeng. Pencarian cinta Sawerigading untuk mendapatkan wanita yang memiliki kesamaan dengan saudara kembarnya tersebut dapat saya tafsirkan sebagai nilai perjuagan untuk mencari jodoh yang sesuai. Nilai kekerabatan yang berlaku di masyarakat Bugis tercermin dalam mitos Sawerigading. Masih di halaman yang sama (Ahimsa-Putra. 2006: 392) “Bagian ini dapat dikatakan aturan eksogami, karena pernikahan ini terjadi setelah Sawerigading disarankan menikah dengan seseorang puteri yang sama persis dengan dengan We Tanriabeng. Eksogami yang berlaku disini adalah eksogami keluarga batih karena jodoh yang dianjurkan adalalah sepupu sekali.” Nilai kekerabatan diatas di barengi pula dengan nilai hierarki bahwa We Tanriabeng adalah seorang wanita yang menikah dengan laki-laki yang derajatnya lebih tinggi yaitu sepupunya yang berasal dari Langit. Sedangkan Sawerigading menikah dengan sepupu yang sama derajatnya dari Cina. Di dalam mitos kedua yaitu mitos Dewi Sri terdapat perbedaan tafsir Ahimsa dalam analisisnya yaitu mitos Sawerigading merupakan mitos larangan incest namun di dalamnya disertai dengan pengarahan pernikahan yang baik seperti yang di jelaskan diatas sedangkan di dalam mitos Dewi Sri hanya seputar pernikahan yang tidak dikehendaki saja dan tidak menyebutkan secara spesifik syarat-syarat pernikahan. Tidak adanya pilihan jodoh tersebut ditafsirkan bahwa adanya kebebasan dalam memilih jodoh asalkan jodoh tersebut bukanlah saudara kandungnya. Namun kita dapat menihat nilai larangan lainnya bahwa Dewi Sri tidak ingin menikahi raksasa karena ia dianggap tidak pantas untuk dinikahi. Ahimsa (2006: 400) “Raksasa dapat ditafsirkan sebagai kategori sosial bukan Jawa dengan pola-pola perilaku yang dianggap tidak Njawani”. Hal yang tidak dikemukakan Ahimsa bahwa salah satu pelaku dalam mitos Saweriading yang terlibat kisah cinta rumit sadar akan larangan pernikahan. We Tanriabeng tidak menghendaki berhubungan dengan laki-laki yang kedudukannya sama dengannya, ia lebih memilih pria yang derajatnya lebih tinggi. Berbeda dengan mitos Dewi Sri dimana pihak wanita mencintai pihak laki-laki meskipun derajatnya sama dengannya. Apa yang ada di dalam mitos diatas merupakan ciri budaya masyarakat Bugis dan masyarakat Jawa. Dimana masyarakat Bugis mengenal sistem pernikahan ideal yang tercermin di Mitos Sawerigading kemudian diperkuat dengan mitos To-Manurung. Wanita yang menikah dengan laki-laki yang lebih tinggi derajatnya, serta kecenderungan menikah dengan orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Sedangkan pada masyarakat Jawa tidak menghendaki syarat tertentu untuk mencari jodoh, namun hanya larangan-larangan yang harus dihindari. Aturan-aturan dalam pernikahan diatas dapat digunakan sebagai dasar untuk mengetahui hubungan pernikahan dengan kekuasaan. Mitos Sawerigading dikaitkan dengan mitos To-Manurung dimana pernikahan sepupu dimaksudkan untuk menjaga kemurnian darah kelompok sedangkan mitos Dewi sri yang dikaitkan dengan mitos Mitaraga dimana pernikahan yang tidak dengan individu tertentu menguntungkan individu (dapat dilihat dalam tabel: 434). Ahimsa menyimpulkan (2006:435) bahwa: “Mitos Sawerigading pada dasarnya adalah mitos tentang upaya menghindari perkawinan incest tanpa mengorbankan kekuasaan yang berada di lapisan masyarakat tertentu, mitos Sawerigading merupakan mitos tentang upaya pelestarian kemurinian darah, pelestrian kukuasaan, tanpa melanggar larangan incest. Sednagkan mitos Dewi Sri merupakan mitos untuk upaya menghindari perkwinan incest tanpa upaya melestarikan kekuasaan oleh individu tertentu.” Dari kesimpulan tersebut jelas bahwa di dalam masing-masing mitos terkandung nilai harmoni yang bertujuan untuk menjaga dan melestarikan sosial budaya masing-masing masyarakat temasuk di dalamnya unsur kekerabatan, lapisan sosial dan kekuasaan.. SUMBER: Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Levi Strauss, Mitos dan Karya Sastra Bab IX. Yogyakarta: Kepel Press.

Posting Komentar