Membangun Masyarakat: Implementasi Nilai Folklore yang Terabaikan (Studi Terhadap Mitos Sendang Lele) (TUGAS FOLKLORE)

Membangun Masyarakat: Implementasi Nilai Folklore yang Terabaikan (Studi Terhadap Mitos Sendang Lele) Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang multikultural. Sebagai negara yang multikultural, Indonesia memiliki kekayaan budaya yang berasal dari berbagai daerah. Kebudayaan tidak hanya berwujud kesenian seperti tari-tarian, musik, dan alat-alat tradisional saja seperti yang diketahui sebagian besar masyarakat, namun kebudayaan juga dapat berbentuk folklor. Sebagai warisan budaya, folklor harus kita jaga eksistensinya agar tidak lenyap ditelan oleh globalisasi yang semakin tak terbendung. Folklor memiliki banyak jenis, dimana masing-masing jenis tersebut memiliki nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam pembangunan. Folklor yang paling populer contohnya adalah mitos. Dalam mitos tersebut termuat berbagai nilai-nilai yang ada di dalam suatu daerah untuk membangun masyarakat ke arah yang lebih baik. Folklor Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Endraswara (ed). 2013: 2). Brunvand (dalam Danandjaja, 1986:21), mengungkapkan bahwa folklor dibedakan menjadi tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu : 1. Folklor lisan (verbal folklor), adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti bahasa, pepatah, dan pemeo; (c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (f) nyanyian rakyat 2. Folklor sebagian lisan (partly verbal folklor) adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya, yang oleh orang “modern” seringkali disebut takhayul itu, terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib, seperti tanda salib bagi orang Kristen Katolik yang dianggap dapat melindungi seseorang dari gangguan hantu, atau ditambah dengan benda material yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri atau dapat membawa rejeki,seperti batu-batu permata tertentu. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat, adalah permainan rakyat, teater rakyat, tarian rakyat, adat istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain 3. Folklor bukan lisan (non verbal folklor) adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong yang material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat; pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk yang bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi adat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di Jawa), dan musik rakyat. Cerita yang akan penulis sampaikan merupakan salah satu folklor lisan yang berbentuk mitos di dalam masyarakat di wilayah Jawa. Mitos Sendang Lele Sendang Lele merupakan tempat wisata yang ada di Dukuh Baseng, Desa Gentan, Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo. Sesuai dengan namanya, Sendang Lele adalah suatu sendang atau kolam dengan berukuran 15 m2 yang berisi ikan-ikan lele. Sendang yang hanya berisi sekumpulan ikan lele saja merupakan hal yang biasa, yang berbeda dari tempat wisata sendang lele ini adalah lele yang memiliki ukuran yang tidak biasa. Lele yang dipelihara oleh masyarakat umum ini tumbuh sebesar bayi yang berumur 2 hingga 3 tahun. Sendang Lele dianggap menyimpan hal-hal yang mistis bagi warga yang mengunjunginya. Pengunjung biasanya membeli pakan lele yang dijual di warung-warung dekat sendang tersebut untuk diberikan kepada lele-lele yang berasa di sendang. Sebagian masyarakat yang memberikan makan pada lele hanya sebatas memberikan makan untuk mengundang lele berkumpul saja, namun sebagian lagi pengunjung mengaku memberikan makan sebagai wujud sekedah agar mereka mendapatkan berkah di dalam hidupnya. Kisah di balik Sendang Lele ini menurut Bapak Mulyanto, S.E. (49 tahun) selaku ketua RT 01/RW 04 Desa Gentan, Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo, bahwa pada zaman dahulu kala hiduplah seseorang yang bernama Ki Truno. Konon Ki Truno adalah pria dewasa yang memiliki kesaktian. Ki Truno bersahabat dengan Pangeran Sambernyowo, dimana mereka bersama-sama berperang melawan Londo (Kolonial Belanda). Di kawasan sendang tersebut ada bongkahan batu besar yang digunakan untuk mengawasi pergerakan penjajah yang akan menyerang daerah tersebut. Dan pada suatu ketika Pangeran Sambernyowo melanjutkan peperangan melawan Kolonial Belanda dengan menuju ke daerah lain dengan mengajak sahabatnya, Ki Truno. Namun Ki Truno memilih untuk tinggal di daerah sekitar sendang tersebut dan menolak ajakan Pangeran Sambernyowo untuk berpindah ke daerah lain. Ki Truno mencintai desa tersebut dan ingin menjaga wilayah tersebut hingga akhir hayatnya. Oleh karena itu, lele-lele yang ada di sendang tersebut diyakini oleh masyarakat sekitar merupakan jelmaan dari Ki Truno yang selalu menjaga Desa Gentan. Berdasarkan penuturan warga yang tinggal di Dukuh Baseng, beberapa puluh tahun lalu Lele Ki Truno memiliki warna putih. Namun dalam perkembangannya ada beberapa warga yang tidak menyukai hal-hal mistis yang tersimpan dalam lele tersebut, bahkan ada warga yang menganggapnya sebagai hal yang syirik. Ketidaksukaan mereka tersebut berujung pada pemberian racun pada sendang. Berdasarkan hal tersebut maka Sendang Lele yang dikenal oleh masyarakat saat ini sebetulnya tidak berisi lele-lele yang asli, melainkan berasal dari lele yang di tanam oleh warga. Kendati demikian, kisah Ki Truno sebagai jelmaan lele ini masih tetap diyakini oleh masyarakat sekitar hingga saat ini. Nilai Dalam Mitos “Sendang Lele” Analisis yang digunakan untuk mengungkapkan mitos Sendang Lele ini adalah analisis struktural Levi-Strauss. Ahimsa-Putra (2006: 380-381) mengungkapkan bahwa analisis struktural tepat untuk membedah isi mitos karena beberapa alasan, diantaranya: (1) paradigma struktural membantu memahami mitos dalam konteks budaya yang lebih luas, (2) mengungkapkan relasi-relasi penting antar tokoh, (3) memperhatikan fenomena relasi-relasi kekerabatan dan sosial. Seperti cerita di daerah-daerah lain, Mitos Sendang Lele ini dalam perkembangannya memiliki banyak versi yang berbeda. Namun mitos yang telah diungkapkan Pak Mulyanto tersebut adalah versi cerita yang diketahui oleh sebagian besar masyarakat Desa Gentan. Berdasarkan cerita tersebut, terdapat nilai-nilai yang terkandung didalamnya yaitu: Rawe-rawe rantas malang-malang putung. Secara jelas bahwa pada zaman dahulu kala masyarakat Baseng turut serta berperang melawan penjajahan Belanda. Ki Truno dan Pangeran Sambernyowo diibaratkan sebagai masyarakat yang menolak segala bentuk kolonialisme yang ada di Baseng. Mereka mengidam-idamkan kehidupan bebas dan tenteram, oleh karena itu mereka berjuang untuk mencapai hal tersebut dengan cara berperang melawan penjajah. Nilai yang seperti ini dapat disebut dengan nilai perjuangan. Holopis kuntul baris artinya yaitu gotong-royong. Seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa itu sendiri memiliki budaya gotong royong yang kuat. Dalam peperangan melawan penjajah untuk mencegah agar Dukuh Baseng tidak dikuasai Londo, maka Ki Truno yang diketahui bersahabat dengan Pangeran Sambernyowo saling bahu-membahu untuk menghadapi musuh. Hal ini menggambarkan masyarakat Baseng yang mengutamakan gotong-royong dalam masyarakat untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Gotong-royong atau bekerja sama harus selalu diterapkan di dalam kehidupan agar keinginan bersama yang selama ini diidam-idamkan dapat terpenuhi. hal tersebut menyimpulkan pada zaman dahulu masyarakat memiliki nilai gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat yang tertuang dalam hal berperang memerangi musuh. Luwih becik urip ning omahe dewe, begitula kira-kira pandangan hidup masyarakat yang sesuai dengan folklor Sendang Lele diatas. Masyarakat harus percaya bahwa sebagus apapun daerah lain, tentunya daerah tempat tinggal kita lebih bagus. Hal lainnya yaitu, Ki Truno yang bersahabat baik dengan Pangeran Sambernyowo rela berpisah dengan sahabatnya tersebut yang meninggalkan Baseng. Ki Truno memilih tinggal di Baseng untuk menjaga desa tersebut karena sewaktu-waktu penjajah bisa saja datang ke daerah tersebut. Oleh karena itu Ki Truno tetap tinggal meskipun sahabatnya berpindah ke daerah lain untuk memerangi penjajah. Di dalam penggalan kisah tersebut secara tersirat dapat saya artikan bahwa disitu ada nilai-nilai untuk menjaga tanah Baseng apapun yang terjadi. Baseng harus dijaga oleh masyarakatnya dari segala bahaya yang mengancam. Nilai Pembangunan Ketika kita memiliki tekad yang kuat untuk mencapai suatu hal, maka harus dipertahanan hingga akhir. Untuk mencapai apa yang telah dicita-citakan haruslah memiliki semangat demi tercapainya kualitas hidup dan pembangunan ke arah yang lebih baik. Dalam pembangunan, nilai gotong royong sangat penting. Pekerjaan yang dilakukan bersama-sama akan lebih cepat selesai dibandingkan dikerjakan sendirian. Selain itu gotong-royong merupakan budaya masyarakat kita yang harus dilestarikan hingga akhir. Ketika kita pergi ke daerah lain, hal yang perlu kita ingat bahwa kita tidak boleh melupakan daerah sendiri. justru sebagai tempat hidup kita, kita harus membangun dan mengembangkan daerah kita. memang ada pepatah rumput tetangga lebih hijau, namun jangan lupa bahwa kita harus menjaga dan mengembangkan hal-hal yang menjadi milik kita sendiri. Implementasi Nilai Pembangunan Nilai perjuangan yang ada pada zaman dahulu ditujukan untuk melawan para penjajah yang akan melakukan aksi kolonialismenya, sedangkan saat ini nilai perjuangan lebih ditekankan pada perjuangan dalam hidup. Dalam hidup, masyarakat berjuang untuk menjadi manusia yang berhasil. Berhasil dapat diwujudkan dengan kerja keras dan penuh semangat. Manusia dikatakan berhasil atau sukses menurut masyarakat Dukuh Baseng, jika manusia tersebut dapat memenuhi kebutuhan duniawi dan kebutuhan akhiratnya. Kebutuhan duniawi meliputi tempat hidup yang layak, harta yang berkecukupan dan tentunya pekerjaan yang mapan. Sedangkan manusia yang dikatakan sudah memenuhi kebutuhan akhiratnya adalah ketika mereka sudah melakukan ibadah sesuai dengan agamanya serta berbagi kepada sesamanya (bersodakoh). Diatas telah dijelaskan bahwa masyarakat Dukuh Baseng memiliki nilai gotong-royong yang digunakan untuk melawan penjajahan. Pada saat sekarang ini nilai gotong-royong yang dapat membangun masyarakat Baseng itu sendiri pada khususnya tertuang dalam kegiatan-kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh masyarakat. masyarakat secara aktif melakukan kegiatan yang menjunjung kebersamaan seperti kegiatan bersih desa atau rasulan, kerja bakti, menolong tetangga yang tertimpa musibah dan sebagainya yang masih dilestarikan hingga saat ini. Umumnya masyarakat di Dukuh Baseng adalah masyarakat yang tingkat urbanisasi ke kota-kota besar lebih rendah jika dibandingkan dengan masyarakat desa-desa lainnya di daerah tersebut, ini dapat dikaitan dengan nilai membangun daerah . Hal ini berdampak positif bagi desa itu sendiri sekaligus pada kota-kota besar. Secara tidak langsung masyarakat yang tidak melakukan urbanisasi, kota-kota besar mendapatkan keuntungan karena masalah kepadatan penduduk. Selama ini pemerintah telah melakukan upaya untuk mengurangi jumlah penduduk yang merantau, tentunya dengan nilai kehidupan yang ada di mitos Sendang Lele ini bahwa masyarakat harus menjaga daerahnya maka dapat menunjang pembangunan nasional. Selain itu, masyarakat yang mencintai daerahnya dan memilih untuk tinggal di daerahnya secara langsung berdampak kepada daerah itu sendiri dimana lahan garapan di desa terawat. Berbagai sektor-sektor pekerjaan yang digarap maka dapat menunjang pembangunan desa itu sendiri sehingga terciptanya kehidupan yang maju dan lebih baik Kesimpulan Foklor merupakan budaya Indonesia yang harus kita jaga kelestariannya. Dalam perkembangan, foklor memiliki beberapa jenis, yakni folklor lisan, folklor tertulis dan folklor semi lisan. Salah satu macam folklor lisan yakni mitos. Mitos “Sendang Lele” yang ada di Kabupaten Sukoharjo memiliki nilai-nilai masyarakat yang dapat menunjang pembangunan bagi masyarakat itu sendiri pada khususnya, dan bagi kepentingan nasional pada umumnya. Selama ini folklor hanya dikenal sebagai ekspresi masyarakat yang dapat digunakan untuk menjelaskan masyarakat sekaligus mengendalikan masyarakat itu sendiri. Hal lain yang harus dilihat dari kekayaan budaya yang berkembang di tiap-tiap daerah ini bahwa folklor memiliki manfaat nyata yang dapat menunjang pembangunan. Folklor dapat menunjang pembangunan dalam masyarakat melalui nilai-nilai yang termuat didalamnya. DAFTAR PUSTAKA Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Levi Strauss, Mitos dan Karya Sastra Bab IX. Yogyakarta: Kepel Press. Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti Endraswara, Suwardi (ed). 2013. Folklor Nusantara: Hakikat, Bentuk, dan Fungsi. Katalog Dalam Terbitan. Yogyakarta: Penerbit Ombak Wawancara dengan Bapak Mulyanto, S.E. (49 tahun), selaku Ketua RT 01/RW 04 Desa Gentan Wawancara dengan Ibu Tri, selaku pengunjung LAMPIRAN gambar: bangunan yang ada di sendang lele (sumber:dokumentasi penulis) gambar: lele-lele yang tumbuh di sendang (sumber:dokumentasi penulis)

Posting Komentar